Kamis, 06 Agustus 2009

Hal Ihwal Kegentingan Memaksa dalam Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) memang diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menentukan bahwa: (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Ketentuan tersebut dipertegas di dalam Pasal 1 angka (4) dan Pasal 25 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa syarat utama penetapan sebuah Perpu oleh Presiden yaitu adanya suatu keadaan ”kegentingan yang memaksa”. Namun demikian, dalam penjelasan UU tidak dijelaskan apa definisi atau prasyarat dari ketentuan ”kegentingan yang memaksa” yang dimaksud.

Memang hingga saat ini belum ada ukuran yang jelas dan terukur tentang apa yang dimaksud dengan hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” yang dapat menjadi alasan keluarnya Perpu. Menurut Prof. Ismail Sunny mengenai keluarnya suatu Perpu dapat diartikan keadaan darurat, lebih dari itu tidak ada. Namun pemerintah bisa mengartikannya hal tersebut secara luas, dan dalam Hukum Tata Negara keadaan darurat jelas pengertiannya luas sekali.
Bila kita menelaah sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, hampir sebagian besar Perpu selalu dikeluarkan oleh Presiden pada saat negara berada dalam posisi darurat (noodsverordeningsrech). Maka dari itu, ada baiknya untuk menelusuri kembali perjalanan konstitusi RI –walaupun kini hanya dikategorikan sebagai sebuah dolumen historis– yang memberikan beberapa penjelasan mengenai hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” sebagai suatu rujukan interpretasi historis.
Pasal 139 Konstitusi RIS menjelaskan bahwa: (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera; dan (2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa undang-undang federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Sedangkan dalam Pasal 96 UUDS 1950 diatur ketentuan bahwa: (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera; (2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, memberikan penjelasan bahwa pasal tersebut mengenai noodverordeningsrecht Presiden, dimana aturan tersebut diadakan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam Pasal 22 dimaksud, yang kekuatannya sama dengan UU, harus disahkan pula oleh DPR. Maka dari itu, persepsi yang timbul di sebagian masyarakat bahwa hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” yaitu suatu keadaan dimana negara dalam keadaan darurat untuk segera dilakukan penyelamatan, sehingga sedikit banyak harus merujuk pada Undang-undang (Prp) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.Namun demikian, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”, sehingga hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, sebenarnya tidak sama dengan ”keadaan bahaya” seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya yang tertuang dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.Keterangan tersebut di atas tertuang secara jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai the interpreter of constitution terhadap perkara No. 003/PUU-III/2005 mengenai perkara Judicial Review UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.Terlebih lagi, dalam praktik ketetanegaraan selama ini, dari berbagai Perpu yang pernah dikeluarkan oleh Presiden menunjukkan adanya kecenderungan penafsiran hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” sebagai keadaan mendesak yang perlu diatur dengan peraturan setingkat undang-undang (misalnya Perpu No. 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan Berlakunya Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, atau Perpu-Perpu yang terkait dengan Pemilu, Pilkada, dll), yang kesemuanya itu tidak ada kaitannya dengan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan UU (Prp) No. 3 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” dalam penetapan suatu Perpu pada dasarnya merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Meskipun demikian, Mahkamah juga memberikan rambu-rambu agar hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” dalam sebuah Perpu yang selanjutnya akan dikeluarkan oleh Presiden, agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara yang tercermin dalam konsiderans ”Menimbang” dari Perpu yang bersangkutan
Oleh karenanya, jiwa konstitusi sesungguhnya tidak memberikan hak subjektif kepada Presiden an sich untuk mengeluarkan Perpu secara serampangan, tetapi Perpu tersebut harus menggambarkan secara utuh kandungan ruh “kegentingan” yang menjadi latar belakang keluarnya Perpu yang bersangkutan.
Mengenai materi muatan Perpu dijelaskan dalam Pasal 9 UU No. 10 Tahun 2004, bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Lalu apa yang menjadi materi muatan Undang-Undang? Kembali kepada Pasal 8 dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: (1) hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5) kewarganegaraan dan kependudukan; (6) keuangan negara; dan diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.Untuk tata cara penetapan Perpu menjadi UU diatur dalam Pasal 25 UU No. 10 Tahun 2004 yang menyebutkan: (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; (3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku; (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Menjadi catatan khusus bagi Pemerintah, agar berhati-hati dan memperhatikan secara sungguh-sungguh penyusunan dan pembentukan suatu Perpu, sehingga Perpu yang dikeluarkan pada nantinya tidak mencerminkan bad laws yang memiliki cacat hukum di dalamnya. Analisa penulis, terhadap Perpu tersebut kemungkinan dapat terjadi 2 (dua) proses pengujian yang melibatkan lembaga yang berhak untuk melakukan pengujian (toetsingsrecht), yaitu legislative review yang dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislator, dan judicial review pada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan. Sudah barang tentu, untuk ditetapkan menjadi UU, produk Perpu mau tidak mau harus melalui lembaga DPR guna memperoleh persetujuan. Maka yang terjadi pada saat itu adalah proses legislative review, yang digunakan untuk menentukan apakah Perpu tersebut layak untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Kemudian pengujian lainnya dapat juga dilakukan di hadapan Mahkamah Konstitusi. Saat ini memang masih terjadi perdebatan tersendiri mengenai dapat-tidaknya suatu Perpu dijadikan obyek judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi, karena UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya mengatakan bahwa judicial review hanya dapat dilakukan atas suatu UU terhadap UUD. Namun, hemat penulis produk Perpu pun sebenarnya dapat juga dijadikan obyek pengujian terhadap UUD, dengan alasan: (1) Materi muatan yang terkandung di dalam UU maupun Perpu adalah sama; (2) Antara UU dan Perpu mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga jika Mahkamah Konstitusi tidak berwenang maka tidak ada satupun lembaga yang dapat melakukan pengujian terhadap sebuah Perpu, termasuk Mahkamah Agung sekalipun, karena kewenangannya hanyalah melakukan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU di atasnya; (3) Seandainya Perpu tidak dapat dijadikan obyek judicial review oleh lembaga judisial manapun, maka besar kemungkinan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden akan berpotensi untuk menjelma menjadi hukum otoriter, represif, sewenang-wenang, dan bergerak sesuai kehendak penguasa dengan libido kekuasaan belaka (machstaat), meskipun hal tersebut hanya terjadi beberapa saat (hingga DPR melaksanakan sidang) namun dapat menimbulkan korban yang meluas, karena dapat dilakukan secara berulang-ulang tanpa batasan atau koridor-koridor konstitusional.
Namun yang perlu digarisbawahi, pun seandainya Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang memeriksa judicial review atas suatu Perpu, logika sederhananya adalah kita hanya tinggal menunggu waktu saja ketika Perpu tersebut disahkan untuk menjadi sebuah produk UU maka kemudian dapat diajukan sebagai permohonan judicial review kembali. Bila semua proses pembentukan Perpu tentang Penyeleksian Ulang Hakim Agung menjadi sebuah UU berjalan dengan lancar, dan jikalau ada permohonan judicial review atas peraturan perundang-undangan tersebut ternyata juga tidak dikabulkan, maka tidak akan terjadi permasalahan atau akibat negatif apapun, karena notabennya telah terbukti secara hukum keabsahan dari lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut.
Namun tidak tertutup kemungkinan, kesalahan pemerintah dalam mengeluarkan suatu Perpu beserta akibat yang ditimbulkannya, justru dapat dikumpulkan dan dijadikan amunisi untuk proses pemakzulan oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap pihak yang berkuasa saat ini. Oleh karena itu, pemerintah haruslah benar-benar memahami secara utuh dan berhati-hati dalam proses pembentukan Perpu yang direncanakan itu, termasuk alasan-alasan yang akan dijadikan konsideran terhadap “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai syarat utama keluarnya suatu Perpu. Jika ternyata dirasa tidak cukup alasan konstitusional dikeluarkannya Perpu dimaksud, maka pemerintah tidak perlu untuk memaksakan diri untuk menindaklanjuti pembentukan Perpu tersebut guna memenuhi keinginan dan kehendak pihak-pihak yang mengusungnya.
Status Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Jika Seandainya RUU Pencabutannya Di Tolak Oleh DPR. Dalam hal pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) oleh Presiden kepada DPR, sesuai dengan Pasal 25 dan Pasal 36 UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, juncto Pasal 22 UUD 1945, harus diajukan pada persidangan berikut dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Penetapan Perpu Menjadi Undang-Undang. Pembahasan RUU Tentang Penetapan Perpu tersebut harus dilaksanakan melalui mekanisme yang lama dengan pembahasan RUU , seperti yang tercantum pada Pasal 36 Ayat (1) UU No.10 Tahun 2004. Sebagaimana diketahui bahwa pembahasan RUU di DPR harus dilakukan oleh DPR dan Presiden atau Menteri yang ditugasi, yang apabila dalam pengesahan dan penetapan RUU tersebut mejadi UU harus memperoleh persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Selanjutnya, apabila RUU tentang Penetapan Perpu menjadi UU di tolak Oleh DPR, maka Perpu tersebut dinyatakan tidak berlaku. Jika RUU tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku, maka Perpu harus dicabut melalui mekanisme Presiden mengajukan RUU Tentang Pencabutan Perpu tersebut yang dapat pula mengatur segala akibat dari penolakan tersebut (Pasal 25 Ayat (4) dan Pasal 36 Ayat (4) UU No.10 Tahun 2004). Dari hipotesis diatas, dapat diketahui bahwa Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden, harus diajukan pada persidangan berikut kepada DPR dalam bentuk RUU untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang. Jika DPR menolak RUU tersebut, maka Perpu dinyatakan tidak berlaku dan Presiden wajib mengajukan RUU tentang pencabutan Perpu tersebut. Namun yang menjadi qua ad facti ialah, tidak adanya lex scripta (Peraturan Perundang-Undangan yang tertulis) yang mencantumkan ipsis verbis secara spesifik mengenai hal penolakan RUU tentang pencabutan Perpu. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika RUU Tentang Pencabutan Perpu ditolak oleh DPR?
Memang pertanyaan tersebut masih bersifat in abstracto. Artinya, belum ada facta yang nyata mengenai penolakan DPR terhadap RUU Pencabutan Perpu. Namun, seiring dengan perkembangan dan perubahan sosio-politik, tidak menutup kemungkinan bahwa penolakan DPR terhadap RUU Pencabutan Perpu yang masih dalam tataran in abstracto akan berubah menjadi sesuatu yang in concreto.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa apabila RUU Tentang Penetapan Perpu menjadi UU ditolak oleh DPR, maka Perpu tersebut dinyatakan tidak berlaku. Untuk memperjelas status dari tidak berlakunya Perpu tersebut, maka Presiden mengajukan RUU kepada DPR untuk memperoleh persetujuan bersama agar Perpu tersebut dicabut. Namun, setiap RUU yang dibahas dalam sidang DPR, DPR mempunyai hak untuk menolak RUU yang dimaksud. Yang menjadi masalah, bagaimana seandainya dalam pembahasan RUU Tentang Pencabutan Perpu ditolak oleh DPR sehingga tidak terjadinya persetujuan bersama? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penulis beranggapan bahwa ada 2 (dua) kemungkinan variabel alternative yang dapat di tempuh. Kemungkinan variabel pertama, yaitu kembali ke mekanisme yang lama dengan pembahasan RUU. Akan tetapi, jika merujuk kepada mekanisme yang lama ini, maka ada 2 (dua) item pendekatan yang membuat variabel ini menjadi lemah;
1.Terjadinya ketidakjelasan status secara temporer terhadap Perpu yang sudah ditolak. Pasal 20 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Jika Rancangan Undang-Undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Penegasan ini tidak dicantumkan pada Pasal yang termuat dalam UU No.10 Tahun 2004, akan tetapi tercantum dalam Pasal (30) Peraturan Presiden (Perpres) No.68 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Pasal (30) tersebut menyatakan bahwa, “Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama.” Artinya, apabila RUU Tentang Pencabutan Perpu tidak mendapatkan persetujuan bersama, maka RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi pada sidang yang sama pada masa itu. Logika sederhananya, apabila RUU tersebut tidak boleh lagi diajukan pada masa sidang yang sama, maka Presiden harus menunggu hingga masa sidang berikutnya. Hal ini mengakibatkan adanya rentang waktu yang menjadikan Perpu tersebut mengambang tanpa status, yaitu sudah dinyatakan tidak berlaku namun belum dicabut. Sedangkan, tidak satu pun lex scripta yang menegaskan tentang status Perpu yang sudah ditolak dan dinyatakan tidak berlaku namun Perpu tersebut belum di cabut. Timbul pertanyaan krusial, bagaimana mungkin Perpu yang sudah di tolak atau tidak mendapatkan persetujuan oleh DPR, pencabutannya harus ditunda? Bagaimana seandainya jika pada masa sidang berikutnya RUU Tentang Pencabutan Perpu kembali di tolak oleh DPR, apakah pencabutannya harus di tunda lagi?
2.Tidak adanya dasar hukum yang mengatur RUU Tentang Pencabutan Perpu dengan dilaksanakan melalui mekanisme yang lama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. Dalam Pasal 36 Ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 hanya menjelaskan bahwa, “Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang lama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.” Jika memakai interpretatie secara argumentum a contrario, maka yang dapat dilaksanakan melalui mekanisme yang lama dengan pembahasan RUU adalah tentang ‘Penetapan’ Perpu menjadi UU. Bukan tentang ‘Pencabutan’ Perpu. Artinya, pembahasan yang dapat dilaksanakan melalui mekanisme yang lama ialah RUU tentang Penetapan Perpu menjadi UU, dan tidak untuk pembahasan RUU tentang Pencabutan Perpu.
Dari pendekatan kedua item di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila memakai variabel alternative untuk kembali ke mekanisme yang lama dengan pembahasan RUU bilamana RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut ditolak, maka variabel tersebut dapat dikatakan lemah baik secara politis maupun secara yuruidis. Dikatakan lemah secara politis, karena apabila pencabutan Perpu tertunda maka akan terjadi ketidakjelasan pada status Perpu tersebut yang sudah dinyatakan tidak berlaku. Dikatakan lemah secara yuridis, karena tidak adanya dasar hukum yang mengatur untuk kembali ke mekanisme yang lama dalam hal pembahasan pencabutan Perpu. Kemungkinan variable kedua, yaitu dengan menggunakan interpretatie (penafsiran). Sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 25 Ayat (4) dan Pasal 36 Ayat (4) UU No.10 Tahun 2004, bahwa “dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.” Pasal ini merupakan materi muatan yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945, utamanya pada Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa, “jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.” Untuk mengetahui maksud dari pasal 22 Ayat (3) ini, maka dapat digunakan metode interpretatie gramatikal (penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata). Redaksi atau bunyi dari kata “jika tidak mendapat persetujuan”, artinya bahwa apabila RUU Tentang Penetapan Perpu menjadi UU, ditolak oleh DPR. Selanjutnya, arti bunyi dari kata “peraturan pemerintah itu”. Peraturan pemerintah yang dimaksudkan ialah peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Setelah itu, bunyi dari kata “harus dicabut”. Kata “harus” inilah yang menjadi titik pangkal dari interpretasi ini. Terlebih dahulu, haruslah diketahui arti dari kata ‘harus’ itu sendiri. Dalam bahasa sehari-hari/bahasa kebiasaan, kata ‘harus’ ialah identik dengan kata ‘wajib’. Hal ini juga dijelaskan dalam kamus praktis Bahasa Indonesia, bahwa kata ‘harus’ berarti sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan. Yang jadi pertanyaan, siapa yang dikenakan kewajiban untuk mencabut Perpu sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945? Presiden ataukah DPR? Jawabannya ialah, DPR. Ada 2 (dua) asumsi mengapa DPR yang dikenakan kewajiban untuk mencabut Perpu tersebut. Asumsi pertama, yaitu bahwa yang mengajukan RUU Pencabutan Perpu adalah Presiden, yang dimana RUU tersebut sebelumnya telah disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini, sebelum RUU tersebut diajukan ke DPR, Presiden atau Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Nondepartemen, dalam prosesnya, haruslah mempersiapkan RUU tersebut dengan perencanaan dan pemantapan konsepsi RUU yang matang. Artinya, dalam hal Presiden mengajukan RUU kepada DPR, maka Presiden hanyalah meminta persetujuan dari DPR, karena secara otomatis Presiden pastilah menyetujui RUU yang telah dia ajukan sendiri. Logika sederhananya, tidak mungkin Presiden mengajukan RUU namun pada akhirnya dia sendiri yang menolaknya. Dengan kata lain, Presiden mengajukan RUU yang sudah pasti dia setujui. Tinggal bagaimana Presiden meminta persetujuan dari DPR. Asumsi kedua, yaitu letak tata bahasa dari Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945, berada pada BAB VII yang membahas tentang Dewan Perwakilan Rakyat. Karena Pasal 22 Ayat (3) tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit siapa yang dikenakan kewajiban untuk mencabut Perpu, maka yang ditinjau selanjutnya ialah lingkup dimana pasal tersebut berada. Pasal 22 Ayat (3) berada pada lingkup BAB VII yang membahas tentang DPR. Artinya, karena pasal tersebut letaknya berada pada lingkup yang membahas tentang DPR, maka yang dikenakan kewajiban/keharusan untuk mencabut Perpu ialah DPR itu sendiri. Dari kedua asumsi diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa setelah menggunakan metode interpretatie, maka redaksi/bunyi kata yang tertuang dalam Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 adalah sama dengan “jika RUU Tentang Penetapan Perpu menjadi UU tidak mendapatkan persetujuan, maka Perpu tersebut harus dicabut oleh DPR.” mengapa hanya DPR saja yang harus mencabut Perpu tersebut. Bukankah dalam pencabutan Perpu haruslah mendapatkan persetujuan bersama, dengan kata lain Presiden juga harus mencabut Perpu tersebut? Memang betul bahwa Presiden pun harus menyetujui tentang pencabutan Perpu tersebut. Namun berlandaskan logika asumsi pertama diatas bahwa tidak mungkin Presiden mengajukan RUU yang pada akhirnya dia sendiri tidak menyetujuinya. Artinya, secara otomatis Presiden pastilah menyetujui tentang pencabutan RUU tersebut. Tinggal bagaimana Presiden meminta persetujuan dari DPR untuk pencabutan Perpu.
Selanjutnya, timbul pertanyaan, kapan pencabutan suatu Perpu ditetapkan apabila sudah dinyatakan tidak berlaku? Yaitu pada masa sidang berikutnya. Mengapa, karena untuk menyusun RUU tentang Pencabutan Perpu membutuhkan jeda waktu. Artinya, pengajuan RUU tentang Pencabutan Perpu dilakukan pada masa sidang berikutnya. Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana seandainya jika RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut ditolak oleh DPR? jawabannya, DPR tidak boleh menolak RUU tersebut. Alasannya, pertama , yang menolak RUU Tentang Penetapan Perpu menjadi UU ialah DPR. karena Presiden tidak mungkin menolak RUU yang dia ajukan. Hal ini ditegaskan pula pada Pasal 36 Ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.” Karena DPR telah menolak untuk ditetapkannya Perpu menjadi UU, maka konsekuensi logisnya ialah DPR harus menerima/tidak boleh menolak RUU yang diajukan oleh Presiden tentang Pencabutan Perpu. Apalagi setelah digunakan metode interpretasi gramatikal terhadap Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 yang hasil pengertiannya identik dengan, apabila RUU tentang Penetapan Perpu Menjadi UU tidak mendapatkan persetujuan atau ditolak oleh DPR, maka perpu tersebut wajib dicabut oleh DPR. yang artinya, dengan alasan apapun, DPR tidak boleh menolak RUU yang diajukan oleh Presiden tentang Pencabutan Perpu.

Penulis : pan mohamad faiz kusumawijaya, SH.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

pak minta izin buat tugas saya yaa :) makasih

Anonim mengatakan...

Pak.. Izin bwt tugas y Pak.. TERIMA KASIH :)

Anonim mengatakan...

helps me a lot. thanksss:)

Anonim mengatakan...

DPR tidak diberikan hak untuk mencabut, krn pilahannya hanya menyetujui atau tidak., selebihnya mcabut itu adalah presiden dengan mengajukan RUU Pencabutan PERPPU tsb.,
Kondisi yg anda tunjukkan jga bgtu kaca, "DPR tidak menyetujui RUU Pencabutan PERPPU"., pada saat RUU Penyetujuan PERPPU menjadi UU itu ditolak, atinya DPR tidak setuju PERPPU itu tuk diberlakukan menjadi UU (ingin diakhiri keberlakuannya) dan dalam pesidangan yg sama pula Presiden mengajukan RUU Pencabutan PERPPU pada masa sidang yg sama saat penolakan td.,
Maaf, cmn mngingatkan saja ^_^

Posting Komentar