Minggu, 09 Agustus 2009

Acara pidana : Saksi dan Korban

KUHAP tidak mengatur tentang perlidungan pelapor, saksi dan korban. Sehingga sering kali sebuah kasus jadi mandek atau terkatung-katung. Dan penyidik/JPU sangat kesulitan, akibat pelapor, saksi, korban takut untuk memberikan keterangan. Sebab jika memberikan keterangan maka keselamatan jiwa diri pribadi maupun keluarga terancam oleh tersangka/terdakwa. RUU KUHAP harus mengatur secara jelas dan rinci soal perlindungan pelapor, saksi dan korban, walupun telah ada UU perlindungan saksi dan korban. Apalagi sekarang telah dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK.

Pada proses pemeriksaan di pengadilan, ternyata tidak dikembangkan pemeriksaannya, hanya terpaku pada berkas BAP. Misalnya hakim/jaksa yang memeriksa saksi/terdakwa dengan metode bertanya seperti ini:
Hakim/JPU : ”Apakah saksi/terdakwa pernah diperiksa oleh polisi?”
Saksi/terdakwa : ”Betul”
Hakim/JPU : ”Apakah betul ini tandatangan/jempol saksi/terdakwa?”
(hakim/JPU biasanya memanggil saksi/terdakwa untuk diperlihatkan BAP serta bagian yang ditandatangani/jempol)
Saksi/terdakwa: ”betul”
Hakim/JPU :”Apakah betul semua keterangan dalam BAP ini?”
Saksi/terdakwa : ”Betul”
Ada perkara yang disidang hanya tiga kali saja. Sidang pertama, pembacaan dakwaan, dilanjutkan dengan pembuktian. Sidang kedua, tuntutan. Dan sidang ketiga, putusan. Cara-cara seperti ini sering dipakai atas diri terdakwa yang tidak didampingi oleh penasihat hukum
Pada proses pembuktian, satu hal yang sangat populer saat ini adalah peran saksi ahli kian menonjol. Faktanya banyak perkara yang diputus dengan menjadikan keterangan ahli sebagai dasar pembenaran. Padahal banyak ahli yang memberikan keterangan sangat diragukan objektifitasnya ataukah memberikan keterangan by order. Sehingga bukannya berfungsi sebagai saksi ahli tapi hanya ahli dalam bersaksi. RUU KUHAP harus mengatur batasan yang jelas tentang ahli, dan ahli yang diajukan oleh JPU maupun terdakwa harus dicarikan ahli pembanding oleh Majels Hakim.
Kelemahan KUHAP yang lainnya adalah soal putusan. Banyak putusan yang menjatuhkan pidana, tapi dalam diktum putusannya tidak mencantumkan secara tegas adanya perintah untuk segera menahan terdakwa. Sehingga JPU tidak bisa melakukan eksekusi langsung atas putusan yang seperti ini. Dan terdakwa sekali pun dinyatakan terbukti bersalah, dia bebas untuk tidak ditahan ataukah melarikan diri. RUU KUHAP, harus mengatur bahwa pada setiap putusan harus mencantumkan perintah untuk ditahan, jika dinyatakan terbukti bersalah, walaupun ada banding atau kasasi.
Terhadap putusan, JPU kadang kesulitan. Sebab ternyata putusan yang dibacakan oleh majelis hakim, banyak yang masih berupa konsep atau tulisan tangan. Sehingga untuk melakukan eksekusi, JPU harus menunggu petikan putusan selesai. Kesempatan seperti ini biasanya digunakan oleh terdakwa untuk melarikan diri. RUU KUHAP, harus lebih mempertegas rumusan yang tercantum dalam Pasal 200 KUHAP sekarang.
Permasalahan lain adalah soal banding dan kasasi. Berkas permohonan banding/kasasi tidak dikirimkan ke PT/MA. Demikian juga terhadap putusan banding/kasasi. Dalam hal ini pengadilan/JPU tidak menyampaikan kepada yang berkepentingan. RUU KUHAP harus mengatur tentang akses para pihak untuk mengetahui sejauh mana proses banding/kasasi yang dimohonkan, sehingga tidaka ada lagi permainan kongkalikong.
Persoalan peninjaun kembali (PK). Berdasarkan Pasal 263 KUHAP, maka yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Dalam praktek, jaksa juga dapat melakukan PK. RUU KUHAP harus dengan tegas mengatur soal PK yang dilakukan oleh jaksa. Misalnya hanya untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan dengan mempunyai batas waktu pengajuan ataukah dengan tegas melarang jaksa untuk PK dengan alasan bahwa jaksa telah diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan pembuktian.
Untuk pengawasan pelaksanaan putusan, dalam praktek banyak terpidana yang ternyata tidak menjalani hukumannya, walaupun dalam register napi di LP dia tetap tercatat RUU KUHAP, harus mengatur secara tegas pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan putusan, dan jika memungkinkan membentuk lembaga khusus untuk hal ini.
Terakhir masalah koneksitas. Dalam praktek aturan dalam KUHAP sering diabaikan, karena adanya unsur superior peradilan militer. Seolah-olah jika pelaku tindak pidana adalah anggota militer, maka semuanya harus diadili di peradilan militer. Padahal kerugian yang ditimbulkan tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan militer. Misalnya kasus pembunuhan bos Asaba oleh menantunya dengan menyewa anggota marinir. Tindak pidana ini jelas korbannya adalah sipil, intelektual dadernya pun sipil. Tapi anggota marinir tidak diadili di peradilan umum. RUU KUHAP, untuk mempertimbangkan keberadan aturan koneksitas kalau perlu dihapuskan saja, dengan mengingat prinsip semua orang bersamaan kedudukannya di muka hukum. Sehingga segala perbuatan pidana harusnya diadili diperadilan yang sama tanpa ada perbedaan karena hanya persoalan pekerjaan.

0 komentar:

Posting Komentar