Minggu, 09 Agustus 2009

Kalla di Pilkada Sul-sel

Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla memberikan kritik atas pelaksanaan pemilu dan pilkada yang cenderung boros. Bahkan JK pernah mensinyalir bahwa pemilu di Indonesia merupakan pemilu termahal di dunia, sebab hampir menghabiskan biaya sebesar 50 milyar US. Nilai tersebut berkisar pada angka 45-47 trilyun rupiah. Angka yang spektakuler itu tentunya menjadi ironi di tengah terpuruknya kondisi perekonomian bangsa saat ini. Lebih dari itu, anggaran yang besar terhadap pelaksanaan pemilu dan pilkada kemudian menyulut kesimpulan bahwa pemilu dan pilkada dalam bingkai demokrasi hanya sekedar membuang-buang duit. Demokrasi adalah pemborosan. Dan akhirnya isu penolakan pilkada yang saat ini menguat salah satu muaranya adalah munculnya inefesiensi dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Diakui bahwa biaya yang tinggi tersebut secara permukaan memang berbanding lurus dengan kondisi wilayah Indonesia yang luas dan jumlah penduduk yang cukup besar. Meskipun demikian, asumsi tersebut tidak cukup kuat menjadi legitimasi dalam mengelola pemilu dan pilkada dengan biaya tinggi. Setidaknya ada 3 aspek yang mempengaruhi pembiayaan pemilu dan pilkada, yakni aspek waktu pelaksanaan pilkada, aspek dukungan SDM dan aspek tekhnis dan pengadaan logistic. Sebenarnya aspek waktu pelaksanaan mempengaruhi mempengaruhi kedua aspek selanjutnya. Artinya ketika ada political will dari DPR dan pemerintah untuk menggabungkan pilkada dan pemilu, maka dengan sendirinya terjadi efesiensi. Namun yang terjadi saat ini adalah penduduk Indonesia menjadi penduduk di dunia yang paling sering mencoblos dalam setahun. Mulai dari Pemilihan Legislatif, pemilihan presiden, pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati/Walikota dan pemilihan desa. Ada 5 kali pencoblosan selama 1 tahun. Alih-alih akan melakukan penggambungan antara pemilu dan pilkada, malah justru di beberapa tempat seperti di Tangerang malah sudah ada pencoblosan untuk pemilihan ketua RW layaknya pencoblosan pilkada . Akibat dari seringnya warga ikut pencoblosan, kemudian muncul kejenuhan. Hal ini diakibatkan karena intensitas memilih dalam pemilu atau pilkada tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan warga. Kondisi jenuh inilah yang kemudian melahirkan tingkat partispasi yang rendah.
Manajemen waktu pelaksanaan pemilu mendesak dilakukan untuk menghindari pemborosan anggaran. Pemborosan anggaran akibat dari banyaknya biaya yang dikeluarkan setiap kegiatan dan tahapan pada pemilu dan pilkada. Selain itu, seringnya pelaksanaan pilkada mengakibatkan rendahnya partisipasi. Rendahnya partisipasi juga memicu pemborosan, sebab banyak logistic yang tidak terpakai akibat tidak adanya pemilih. Seperti kertas suara, tinta dll. Oleh karena itu, untuk efektifitas dan efesiensi, waktu pelaksanaan pemilu dan pilkada bisa dikemas dalam beberapa desain. Pertama, Menggabungkan Pemilu legislative dan pemilu presiden. Artinya, pemilu presiden tidak lagi menunggu hasil pemilu legislative. Kedua, menggabungkan pilkada Gubenur dan pilkada Bupati. Sehingga pilkada hanya ada, yakni pilkada Nasional dan Pilkada daerah. Ketiga, menggabungkan pemilu legislative, pemilu presiden dan pilkada bupati/Walikota. Dalam hal ini pemilihan Gubernur dihapus. Cukup ditetapkan saja oleh presiden sebagai bagian konsistensi terhadap format otonomi daerah yang berbasis di kabupaten/walikota. Sehingga dalam setahun, penduduk Indonesia hanya mencoblos sekali lima tahun. Ketiga desain tersebut menjadi ikhtiar untuk menciptakan sisten pemilu yang efektif dan efisien. Desain pertama mungkin saat ini sudah bisa diusahakan mengingat saat ini DPR masih melakukan pembahasan seputar RUU Pemilihan presiden. Artinya, tidak menutup kemungkinan pemilu 2009 akan dating pemilihan legislative dan pemilihan presiden dapat dilaksanakan secara bersamaan.
Aspek kedua soal sumber daya manusia. Pemilu maupun pilkada melibatkan dukungan SDM yang besar, mulai dari level Kelompok Panitia Pemilihan Suara (KPPS) yang ada di TPS, Petugas Pemilihan Suara (PPS) yang ada di Kelurahan/Desa, Petugas Pemilihan Kecamatan (PPK) di Kecamatan, KPUD Kabupaten, KPUD Provinsi dan KPU Pusat. Rinciannya, 33 KPU provinsi, 456 KPU kabupaten/kota, 5.622 panitia pemungutan kecamatan, 138 panitia pemilihan luar negeri, serta 77.757 panitia pemilihan suara. Menurut sumber KPU untuk PPK dan PPS saja misalnya menghabiskan Rp 8,2 triliun untuk PPS dan Rp 437,6 miliar untuk PPK. Selain itu, pasca disahkannya UU nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, institusi pengawasan pun juga memberi beban biaya yang tidak ringan. Mengingat Panwaslu Pusat yang dulu bersifat ad hoc, sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat permanen. Selain itu, menurut UU 22 Tahun 2007, institusi panwaslu saat ini sudah sampai di level desa yang disebut PPL(Pengawas Pemilu Lapangan) yang dulu hanya sampai di level kecamatan (pasal 82). Selain terjadi ektensifikasi institusi, UU 22 tahun 2007 juga melakukan intensifikasi terhadap durasi masa kerja PPS dan PPK. Menurut pasal 42 dan 45, masa kerja PPK (5 orang) dan PPS (3 orang) selama 8 bulan, yakni dibentuk paling lambat 6 sebelum hari H dan dibubarkan paling lambat 2 bulan setelah hari H. Masa kerja 8 bulan tersebut masih berpotensi diperpanjang apabila pada pemilu atau pilkada terjadi pemilihan putaran kedua. Masa kerja tersebut untuk 1 kali pemilu, padahal di setiap tahun minimal ada 5 pemilu/pilkada. Sehingga, dari dua institusi ini saja, kalkulasi biaya sudah bisa dihitung besarnya biaya pemilu.
Dalam konsteks ini, upaya efesiensi mesti segera dilakukan, sebab bagian pembiayaan SDM inilah menjadi biaya terbesar administrasi pemilu ataupun pilkada. Oleh karena itu beberapa strategi dalam melakukan efesiensi adalah pertama, menunjuk pegawai negeri sipil di setiap level pemerintahan untuk melaksanakan tugas pemilu di masing-masing level. Misalnya, untuk PPK, cukup memaksimalkan pegawai kecamatan yang ada di kantor kecamatan, sehingga honor PPK yang berasal dari PNS cukup bersifat tunjangan semata. Sebab mereka setiap bulan sudah menerima gaji pokok dari negara. Hal ini menimbang bahwa secara factual saat ini agenda kerja PNS di lingkungan kecamatan maupun kelurahan tidak terlalu padat. Sehingga revitalisasi kinerja PNS di kantor kecamatan dan Kelurahan dapat dilakukan dengan memberdayakan mereka dalam aktvitas pemilu. Menurut UU 22 tahun 2007, komposisi PPK maupun PPS masih terbuka untuk tokoh masyarakat, artinya PNS justru memiliki peluang yang kecil. Memang ada kekhawatiran adanya politisasi PPK dan PPS apabila terdiri dari unsure PNS. Kekhawatiran ini mengingat banyak incumbent yang notabene adalah atasan PNS tersebut. Namun kekhawatiran ini sudah bisa diminimalisir dengan disahkannya revisi UU 32 tentang pemerintahan daerah yang mengatur pelaksanaan pilkada. Dalam materi perubahan tersebut, Incumbent yang maju dalam pilkada wajib mundur dari jabatannya ketika sudah ditetapkan sebagai calon resmi oleh KPU. Sehingga pengaruh incumbent ke aparatnya tidak terlalu besar.
Strategi kedua dalam konteks efesiensi SDM pelaksana pemilu dan pilkada adalah dengan melakukan terobosan tekhnologi pada sub kerja yang bisa dikendalikan oleh alat teknologi. Misalnya soal mencelupkan jari ke dalam tinta. Saat ini pada setiap TPS mesti ada satu orang petugas yang berjaga di depan tinta celup. Sesungguhnya apabila tanda pasca mencoblos bisa dialihkan ke alat tekhnologi maka bisa terjadi efesiensi SDM dan lebih menjamin akuntabilitas. Selain itu, pada pos pendaftaran dan verifikasi pemilih yang dating ke TPS, proses pencocokan pemilih yang datang di TPS dengan daftar pemilih tetap masih dilakukan dengan manua dengan seorang petuga. Namun apabila proses pendaftaran dialihkan ke media yang berbasis tekhnologi, maka pendaftaran ketika pemilih datang ke TPS dapat dikoneksikan secara otomatis dengan DPT dan mampu mempermudah proses penghitungan TPS. Dan selanjutnya dukungan tekhnologi itu mampu meminimalisir penggelembungan dan manipulasi jumlah pemilih dan suara. Singkatnya, perlu dipertimbangkan alih fungsi dari tenaga manusia ke alat bantu tekhnogi dengan tetap berpegang pada prinsif efesiensi.
Aspek ketiga yang mesti diupayakan adalah dengan mengefektfikan kerja-kerja yang bersifat administrative tekhnis sehingga melahirkan efesiensi kerja. Dalam hal ini beberapa bagian tekhnis penyelenggaran pilkada cenderung membuang energy termasuk biaya. Contoh kasus misalnya dalam pengadaan TPS. Dalam PP no 6 tahun 2005 sudah mengisyaratkan bahwa batas maksimal DPT pada setiap TPS adalah 600 pemilih. Artinya di setiap TPS memungkinkan alokasi pemilih sampai 600 pemilh. Namun pada faktanya masih banyak PPK yang melaksanakan kebijakan pembentukan TPS versi UU Pemilu legislative dan Pilpres tahun 2004 yang mengisyaratkan setiap TPS maksimal 300 pemilih. Sehingga dalam pilkada sering ditemukan satu TPS hanya berjarak 100 meter dengan TPS lainnya. Khusus di daerah Jawa, ketika dicek masing-masing TPS tersebut hanya terdaftar 300-an pemilih. Jumlah tersebut tidak pernah maksimal karena jumlah tertentu pemilih yang tidak hadir di TPS sudah diketahui jauh hari sebelum hari H. Hal ini karena beberapa factor seperti perantau yang tidak memungkinkan pulang kampung dengan jumlah yang signifikan di setiap TPS. Pada akhirnya, beberapa TPS yang berdekatan tersebut hanya dihadiri pemilih maksimal 300 pemilih. Artinya dengan alokasi 600 pemilih, sesungguhnya banyak TPS yang bisa dimerger untuk efesiensi. Ketidakefektifan TPS yang terlalu banyak dengan jumlah pemilih yang sedikit dapat dilihat dari sepinya TPS ketika sudah memasuki jam 10.00- sampai jam 11.00. Karena dengan 300 pemilih, sesungguhnya hanya membutuhkan 3- 4 jam proses pencoblosan, artinya maksimal sampai jam 11.00.
Dalam hal efesiensi logistic, perlu dipertimbangkan alat-alat yang lebih murah namun tetap bisa mendukung pelaksanaan pencoblosan secara maksimal. Seperti kotak suara misalnya, alangkah baiknya apabila kotak suara tidak mesti terbuat dari seng. Namun bisa memilih dari bahan dari plastic. Selain lebih murah, kotak suara dari plastic juga lebih cenderung dan simple. Selain factor jenis kotak suara, perlu dipertimbangkan kebijakan untuk menggunakan kotak suara dalam berbagai pemilu. Karena ada kecenderungan di beberapa tempat, setiap pasca pemilu 2004 semua logistic mesti baru, termasuk kotak suara. Padahal logistic yang dipakai pada pemilu 2004 masih layak pakai.
Akhirnya ikhtiar untuk mewujudkan pemilu dan pilkada yang hemat menjadi tuntutan proses demokratisasi saat ini. Point ini penting untuk memberikan pertimbangan rasional bagi public dalam memberikan apresiasi terhadap proses demokratisasi. Sejujurnya dengan kondisi perekonomian yang kritis saat ini, maka apresiasi public cukup rendah terhadap proses demokratisasi yang cenderung boros. Pada titik ini,maka partisipasi public pada pemilu dan pilkada juga akan rendah. Semoga resesi ekonomi yang saat ini terjadi yang kemudian disertai dengan program hemat oleh pemerintah di berbagai sector juga akan berdampak pada kebijakan terhadap pelaksanaan pemilu yang efesien. Mungkin itu

0 komentar:

Posting Komentar