Rabu, 31 Maret 2010

Bedil dan Kursi di 2009

Pasal 318 Undang-undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD telah menegaskan bahwa anggota TNI tidak menggunakan haknya untuk memilih pada Pemilu 2009. Dimasukkannya pasal ini telah mengakomodir keinginan dari masyarakat sipil dan juga para anggota TNI sendiri yang melalui survei yang dilakukan mabes TNI September tahun lalu menyatakan belum ingin menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Namun tidak memilihnya para anggota TNI pada Pemilu 2009 tidak berarti menjamin sepenuhnya bahwa TNI tidak akan terlibat atau dilibatkan dalam politik pada Pemilu 2009.
Kompas (4/8/2008) memberitakan bagaimana keterlibatan para purnawirawan TNI masuk ke dalam Partai Politik peserta Pemilu 2009, ada yang menjadi pendiri, ada juga yang direkrut masuk ke dalam kepengurusan. Posisi para purnawirawan tersebut semuanya pada pos-pos penting yang menentukan dalam tubuh partai, dan nama-nama mereka dapat ditemukan hampir secara merata di seluruh partai, baik itu di partai kecil atau partai besar, di partai yang baru mengikuti pemilu atau pun di partai lama. Fadli Zon salah seorang pemimpin partai dari kalangan sipil dengan jujur mengatakan mengapa di dalam partainya banyak terlibat para purnawirawan TNI, menurutnya selain karena lemahnya kaderisasi kepemimpinan di tubuh sipil, keterlibatan TNI juga dikarenakan para purnawirawan tersebut memiliki kekuatan jejaring dan pengalaman teritorial. Hal tersebut lah yang sebenarnya mengkhawatirkan, jejaring para purnawirawan yang rata-rata berpangkat Jenderal itu, sangat rentan dan bisa jadi melibatkan anggota TNI aktif yang berada pada struktur teritorial TNI. Pemanfaatan tersebut bukan hanya kepada orang tetapi juga pada fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh komando teritorial TNI, seperti kendaraan militer, gedung, lapangan dan sebagainya. Apalagi dalam militer Indonesia terdapat budaya bahwa Komandan selain dianggap pimpinan juga dianggap bapak oleh para anak buah. Menampik permintaan dari mantan komandan mungkin bisa dimaklumi tapi dari seorang bapak, dalam budaya timur, hal tersebut adalah sebuah dosa besar.

Keikutsertan para purnawirawan militer di negara-negara demokratis sebenarnya adalah sebuah hal yang wajar dan itu sama sekali tidak mengganggu sistem supremasi sipil, namun keterlibatan militer dalam politik di sejarah Indonesia terlalu dalam dan masif. Oleh karena itu kekhawatiran bahwa keterlibatan para purnawirawan TNI ke dalam politik dengan masuk menjadi anggota partai peserta pemilu 2009 akan menyeret kembali TNI pada politik sangat lah beralasan. Cara yang paling baik untuk mencegah terseretnya kembali TNI ke dalam politik adalah dengan pengawasan yang seksama oleh kelompok masyarakat sipil khususnya di daerah-daerah di mana bisa saja terjadi mobilisasi sumber daya Komando Teritorial untuk kepentingan pemilu. Selain itu hal yang paling pokok agar tidak terbentuk lagi kekhawatiran publik akan terseretnya TNI pada politik praktis adalah segera diselesaikannya agenda reformasi TNI yang jalan di tempat sejak disahkannya UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.

Hal yang agak mengherankan sekaligus menyedihkan menurut saya, ketika pasca disahkannya UU. No 34, reformasi TNI seakan-akan sudah selesai, padahal sebenarnya undang-undang yang sangat reformis tersebut dan juga bersama dengan UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah awal dari terjadinya reformasi TNI secara menyeluruh.

Masih sangat banyak agenda reformasi yang belum diselesaikan, dari segi regulasi masih ada sekitar 12 undang-undang lagi yang harus dibuat, antara lain undang-undang Peradilan Militer dan undang-undang Komponen Cadangan. Sementara soal bisnis militer, pemerintah bertindak sangat hati-hati dan tidak sungguh-sungguh, pemerintah saat ini membenahi bisnis militer sekadar agar tidak melanggar amanat pasal 76 UU No.34. Satu hal lagi yang paling mendasar dari agenda reformasi TNI sebenarnya adalah transformasi Postur Pertahanan Indonesia, khususnya mengenai struktur pertahanan, yaitu sistem komando teritorial.

Sistem komando teritorial memiliki cukup banyak kelemahan. Dari segi pertahanan, sistem komando teritorial adalah sistem pertahanan untuk mempertahankan daratan padahal Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan wilayah lautan sebesar 62 % dari seluruh total wilayah, di mana separuhnya adalah zona ekonomi eksklusif. Selain itu pada masa damai, seperti saat ini, sistem pertahanan komando teritorial sangat rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik terutama menjelang diadakannya pemilu.

Pemilu 2009 harus menjadi pemilu terakhir di mana publik masih memperdebatkan tentang peran politik TNI, oleh karena itu antara tahun 2009 dan 2014 agenda reformasi TNI harus benar-benar dituntaskan. Harapan cukup besar untuk menyelesaikan agenda yang sangat penting tersebut diamanatkan kepada para anggota legislatif dan Presiden terpilih nantinya. Kelompok masyarakat sipil dari sekarang harus secara sungguh-sungguh memasukkan juga pada materi pendidikan pemilihnya mengenai persoalan reformasi TNI, agar masyarakat memilih para calon anggota legislatif dan Presiden yang konsern terhadap agenda tersebut. Pengalaman pada Pemilu 2004 para anggota legislatif dan Presiden yang terpilih bukan orang-orang yang cukup peduli dengan agenda tersebut.
Agenda reformasi TNI adalah agenda yang sangat penting, karena agenda itu sebenarnya juga sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. TNI yang profesional yang tidak berbisnis dan berpolitik akan bisa menjaga keamanan bangsa ini secara komprehensif, di antaranya mampu menjaga para nelayannya saat mencari ikan di wilayah Indonesia dan mengusir nelayan asing ketika beroperasi ilegal di lautan Indonesia. Dirgahayu TNI.

[+/-] Read More...

Pasal 318 Undang-undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD telah menegaskan bahwa anggota TNI tidak menggunakan haknya untuk memilih pada Pemilu 2009. Dimasukkannya pasal ini telah mengakomodir keinginan dari masyarakat sipil dan juga para anggota TNI sendiri yang melalui survei yang dilakukan mabes TNI September tahun lalu menyatakan belum ingin menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Namun tidak memilihnya para anggota TNI pada Pemilu 2009 tidak berarti menjamin sepenuhnya bahwa TNI tidak akan terlibat atau dilibatkan dalam politik pada Pemilu 2009.

Kompas (4/8/2008) memberitakan bagaimana keterlibatan para purnawirawan TNI masuk ke dalam Partai Politik peserta Pemilu 2009, ada yang menjadi pendiri, ada juga yang direkrut masuk ke dalam kepengurusan. Posisi para purnawirawan tersebut semuanya pada pos-pos penting yang menentukan dalam tubuh partai, dan nama-nama mereka dapat ditemukan hampir secara merata di seluruh partai, baik itu di partai kecil atau partai besar, di partai yang baru mengikuti pemilu atau pun di partai lama. Fadli Zon salah seorang pemimpin partai dari kalangan sipil dengan jujur mengatakan mengapa di dalam partainya banyak terlibat para purnawirawan TNI, menurutnya selain karena lemahnya kaderisasi kepemimpinan di tubuh sipil, keterlibatan TNI juga dikarenakan para purnawirawan tersebut memiliki kekuatan jejaring dan pengalaman teritorial. Hal tersebut lah yang sebenarnya mengkhawatirkan, jejaring para purnawirawan yang rata-rata berpangkat Jenderal itu, sangat rentan dan bisa jadi melibatkan anggota TNI aktif yang berada pada struktur teritorial TNI. Pemanfaatan tersebut bukan hanya kepada orang tetapi juga pada fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh komando teritorial TNI, seperti kendaraan militer, gedung, lapangan dan sebagainya. Apalagi dalam militer Indonesia terdapat budaya bahwa Komandan selain dianggap pimpinan juga dianggap bapak oleh para anak buah. Menampik permintaan dari mantan komandan mungkin bisa dimaklumi tapi dari seorang bapak, dalam budaya timur, hal tersebut adalah sebuah dosa besar.
Keikutsertan para purnawirawan militer di negara-negara demokratis sebenarnya adalah sebuah hal yang wajar dan itu sama sekali tidak mengganggu sistem supremasi sipil, namun keterlibatan militer dalam politik di sejarah Indonesia terlalu dalam dan masif. Oleh karena itu kekhawatiran bahwa keterlibatan para purnawirawan TNI ke dalam politik dengan masuk menjadi anggota partai peserta pemilu 2009 akan menyeret kembali TNI pada politik sangat lah beralasan. Cara yang paling baik untuk mencegah terseretnya kembali TNI ke dalam politik adalah dengan pengawasan yang seksama oleh kelompok masyarakat sipil khususnya di daerah-daerah di mana bisa saja terjadi mobilisasi sumber daya Komando Teritorial untuk kepentingan pemilu. Selain itu hal yang paling pokok agar tidak terbentuk lagi kekhawatiran publik akan terseretnya TNI pada politik praktis adalah segera diselesaikannya agenda reformasi TNI yang jalan di tempat sejak disahkannya UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
Hal yang agak mengherankan sekaligus menyedihkan menurut saya, ketika pasca disahkannya UU. No 34, reformasi TNI seakan-akan sudah selesai, padahal sebenarnya undang-undang yang sangat reformis tersebut dan juga bersama dengan UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah awal dari terjadinya reformasi TNI secara menyeluruh.
Masih sangat banyak agenda reformasi yang belum diselesaikan, dari segi regulasi masih ada sekitar 12 undang-undang lagi yang harus dibuat, antara lain undang-undang Peradilan Militer dan undang-undang Komponen Cadangan. Sementara soal bisnis militer, pemerintah bertindak sangat hati-hati dan tidak sungguh-sungguh, pemerintah saat ini membenahi bisnis militer sekadar agar tidak melanggar amanat pasal 76 UU No.34. Satu hal lagi yang paling mendasar dari agenda reformasi TNI sebenarnya adalah transformasi Postur Pertahanan Indonesia, khususnya mengenai struktur pertahanan, yaitu sistem komando teritorial.
Sistem komando teritorial memiliki cukup banyak kelemahan. Dari segi pertahanan, sistem komando teritorial adalah sistem pertahanan untuk mempertahankan daratan padahal Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan wilayah lautan sebesar 62 % dari seluruh total wilayah, di mana separuhnya adalah zona ekonomi eksklusif. Selain itu pada masa damai, seperti saat ini, sistem pertahanan komando teritorial sangat rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik terutama menjelang diadakannya pemilu.
Pemilu 2009 harus menjadi pemilu terakhir di mana publik masih memperdebatkan tentang peran politik TNI, oleh karena itu antara tahun 2009 dan 2014 agenda reformasi TNI harus benar-benar dituntaskan. Harapan cukup besar untuk menyelesaikan agenda yang sangat penting tersebut diamanatkan kepada para anggota legislatif dan Presiden terpilih nantinya. Kelompok masyarakat sipil dari sekarang harus secara sungguh-sungguh memasukkan juga pada materi pendidikan pemilihnya mengenai persoalan reformasi TNI, agar masyarakat memilih para calon anggota legislatif dan Presiden yang konsern terhadap agenda tersebut. Pengalaman pada Pemilu 2004 para anggota legislatif dan Presiden yang terpilih bukan orang-orang yang cukup peduli dengan agenda tersebut.
Agenda reformasi TNI adalah agenda yang sangat penting, karena agenda itu sebenarnya juga sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. TNI yang profesional yang tidak berbisnis dan berpolitik akan bisa menjaga keamanan bangsa ini secara komprehensif, di antaranya mampu menjaga para nelayannya saat mencari ikan di wilayah Indonesia dan mengusir nelayan asing ketika beroperasi ilegal di lautan Indonesia. Dirgahayu TNI.

[+/-] Read More...

Minggu, 09 Agustus 2009

Irwan Hukum UNHAS - Daerah dan Masalahnya

Pada dasarnya UUD NRI 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

dalam penjabarannya di undang-undang Secara lebih khusus, UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut: “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.
Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”
Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini,

  1. Kemampuan ekonomi.
  2. Potensi daerah
  3. Sosial budaya
  4. Sosial politik
  5. Kependudukan.
  6. Luas daerah.
  7. Pertahanan.
  8. Keamanan.
Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Terakhir, syarat fisik yang dimasud harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

[+/-] Read More...

Bedil dan Kursi di 2009

Pasal 318 Undang-undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD telah menegaskan bahwa anggota TNI tidak menggunakan haknya untuk memilih pada Pemilu 2009. Dimasukkannya pasal ini telah mengakomodir keinginan dari masyarakat sipil dan juga para anggota TNI sendiri yang melalui survei yang dilakukan mabes TNI September tahun lalu menyatakan belum ingin menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Namun tidak memilihnya para anggota TNI pada Pemilu 2009 tidak berarti menjamin sepenuhnya bahwa TNI tidak akan terlibat atau dilibatkan dalam politik pada Pemilu 2009.

Kompas (4/8/2008) memberitakan bagaimana keterlibatan para purnawirawan TNI masuk ke dalam Partai Politik peserta Pemilu 2009, ada yang menjadi pendiri, ada juga yang direkrut masuk ke dalam kepengurusan. Posisi para purnawirawan tersebut semuanya pada pos-pos penting yang menentukan dalam tubuh partai, dan nama-nama mereka dapat ditemukan hampir secara merata di seluruh partai, baik itu di partai kecil atau partai besar, di partai yang baru mengikuti pemilu atau pun di partai lama. Fadli Zon salah seorang pemimpin partai dari kalangan sipil dengan jujur mengatakan mengapa di dalam partainya banyak terlibat para purnawirawan TNI, menurutnya selain karena lemahnya kaderisasi kepemimpinan di tubuh sipil, keterlibatan TNI juga dikarenakan para purnawirawan tersebut memiliki kekuatan jejaring dan pengalaman teritorial. Hal tersebut lah yang sebenarnya mengkhawatirkan, jejaring para purnawirawan yang rata-rata berpangkat Jenderal itu, sangat rentan dan bisa jadi melibatkan anggota TNI aktif yang berada pada struktur teritorial TNI. Pemanfaatan tersebut bukan hanya kepada orang tetapi juga pada fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh komando teritorial TNI, seperti kendaraan militer, gedung, lapangan dan sebagainya. Apalagi dalam militer Indonesia terdapat budaya bahwa Komandan selain dianggap pimpinan juga dianggap bapak oleh para anak buah. Menampik permintaan dari mantan komandan mungkin bisa dimaklumi tapi dari seorang bapak, dalam budaya timur, hal tersebut adalah sebuah dosa besar.


Keikutsertan para purnawirawan militer di negara-negara demokratis sebenarnya adalah sebuah hal yang wajar dan itu sama sekali tidak mengganggu sistem supremasi sipil, namun keterlibatan militer dalam politik di sejarah Indonesia terlalu dalam dan masif. Oleh karena itu kekhawatiran bahwa keterlibatan para purnawirawan TNI ke dalam politik dengan masuk menjadi anggota partai peserta pemilu 2009 akan menyeret kembali TNI pada politik sangat lah beralasan. Cara yang paling baik untuk mencegah terseretnya kembali TNI ke dalam politik adalah dengan pengawasan yang seksama oleh kelompok masyarakat sipil khususnya di daerah-daerah di mana bisa saja terjadi mobilisasi sumber daya Komando Teritorial untuk kepentingan pemilu. Selain itu hal yang paling pokok agar tidak terbentuk lagi kekhawatiran publik akan terseretnya TNI pada politik praktis adalah segera diselesaikannya agenda reformasi TNI yang jalan di tempat sejak disahkannya UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.

Hal yang agak mengherankan sekaligus menyedihkan menurut saya, ketika pasca disahkannya UU. No 34, reformasi TNI seakan-akan sudah selesai, padahal sebenarnya undang-undang yang sangat reformis tersebut dan juga bersama dengan UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah awal dari terjadinya reformasi TNI secara menyeluruh.

Masih sangat banyak agenda reformasi yang belum diselesaikan, dari segi regulasi masih ada sekitar 12 undang-undang lagi yang harus dibuat, antara lain undang-undang Peradilan Militer dan undang-undang Komponen Cadangan. Sementara soal bisnis militer, pemerintah bertindak sangat hati-hati dan tidak sungguh-sungguh, pemerintah saat ini membenahi bisnis militer sekadar agar tidak melanggar amanat pasal 76 UU No.34. Satu hal lagi yang paling mendasar dari agenda reformasi TNI sebenarnya adalah transformasi Postur Pertahanan Indonesia, khususnya mengenai struktur pertahanan, yaitu sistem komando teritorial.

Sistem komando teritorial memiliki cukup banyak kelemahan. Dari segi pertahanan, sistem komando teritorial adalah sistem pertahanan untuk mempertahankan daratan padahal Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan wilayah lautan sebesar 62 % dari seluruh total wilayah, di mana separuhnya adalah zona ekonomi eksklusif. Selain itu pada masa damai, seperti saat ini, sistem pertahanan komando teritorial sangat rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik terutama menjelang diadakannya pemilu.

Pemilu 2009 harus menjadi pemilu terakhir di mana publik masih memperdebatkan tentang peran politik TNI, oleh karena itu antara tahun 2009 dan 2014 agenda reformasi TNI harus benar-benar dituntaskan. Harapan cukup besar untuk menyelesaikan agenda yang sangat penting tersebut diamanatkan kepada para anggota legislatif dan Presiden terpilih nantinya. Kelompok masyarakat sipil dari sekarang harus secara sungguh-sungguh memasukkan juga pada materi pendidikan pemilihnya mengenai persoalan reformasi TNI, agar masyarakat memilih para calon anggota legislatif dan Presiden yang konsern terhadap agenda tersebut. Pengalaman pada Pemilu 2004 para anggota legislatif dan Presiden yang terpilih bukan orang-orang yang cukup peduli dengan agenda tersebut.
Agenda reformasi TNI adalah agenda yang sangat penting, karena agenda itu sebenarnya juga sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. TNI yang profesional yang tidak berbisnis dan berpolitik akan bisa menjaga keamanan bangsa ini secara komprehensif, di antaranya mampu menjaga para nelayannya saat mencari ikan di wilayah Indonesia dan mengusir nelayan asing ketika beroperasi ilegal di lautan Indonesia. Dirgahayu TNI.

[+/-] Read More...

Kalla di Pilkada Sul-sel

Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla memberikan kritik atas pelaksanaan pemilu dan pilkada yang cenderung boros. Bahkan JK pernah mensinyalir bahwa pemilu di Indonesia merupakan pemilu termahal di dunia, sebab hampir menghabiskan biaya sebesar 50 milyar US. Nilai tersebut berkisar pada angka 45-47 trilyun rupiah. Angka yang spektakuler itu tentunya menjadi ironi di tengah terpuruknya kondisi perekonomian bangsa saat ini. Lebih dari itu, anggaran yang besar terhadap pelaksanaan pemilu dan pilkada kemudian menyulut kesimpulan bahwa pemilu dan pilkada dalam bingkai demokrasi hanya sekedar membuang-buang duit. Demokrasi adalah pemborosan. Dan akhirnya isu penolakan pilkada yang saat ini menguat salah satu muaranya adalah munculnya inefesiensi dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Diakui bahwa biaya yang tinggi tersebut secara permukaan memang berbanding lurus dengan kondisi wilayah Indonesia yang luas dan jumlah penduduk yang cukup besar. Meskipun demikian, asumsi tersebut tidak cukup kuat menjadi legitimasi dalam mengelola pemilu dan pilkada dengan biaya tinggi. Setidaknya ada 3 aspek yang mempengaruhi pembiayaan pemilu dan pilkada, yakni aspek waktu pelaksanaan pilkada, aspek dukungan SDM dan aspek tekhnis dan pengadaan logistic. Sebenarnya aspek waktu pelaksanaan mempengaruhi mempengaruhi kedua aspek selanjutnya. Artinya ketika ada political will dari DPR dan pemerintah untuk menggabungkan pilkada dan pemilu, maka dengan sendirinya terjadi efesiensi. Namun yang terjadi saat ini adalah penduduk Indonesia menjadi penduduk di dunia yang paling sering mencoblos dalam setahun. Mulai dari Pemilihan Legislatif, pemilihan presiden, pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati/Walikota dan pemilihan desa. Ada 5 kali pencoblosan selama 1 tahun. Alih-alih akan melakukan penggambungan antara pemilu dan pilkada, malah justru di beberapa tempat seperti di Tangerang malah sudah ada pencoblosan untuk pemilihan ketua RW layaknya pencoblosan pilkada . Akibat dari seringnya warga ikut pencoblosan, kemudian muncul kejenuhan. Hal ini diakibatkan karena intensitas memilih dalam pemilu atau pilkada tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan warga. Kondisi jenuh inilah yang kemudian melahirkan tingkat partispasi yang rendah.
Manajemen waktu pelaksanaan pemilu mendesak dilakukan untuk menghindari pemborosan anggaran. Pemborosan anggaran akibat dari banyaknya biaya yang dikeluarkan setiap kegiatan dan tahapan pada pemilu dan pilkada. Selain itu, seringnya pelaksanaan pilkada mengakibatkan rendahnya partisipasi. Rendahnya partisipasi juga memicu pemborosan, sebab banyak logistic yang tidak terpakai akibat tidak adanya pemilih. Seperti kertas suara, tinta dll. Oleh karena itu, untuk efektifitas dan efesiensi, waktu pelaksanaan pemilu dan pilkada bisa dikemas dalam beberapa desain. Pertama, Menggabungkan Pemilu legislative dan pemilu presiden. Artinya, pemilu presiden tidak lagi menunggu hasil pemilu legislative. Kedua, menggabungkan pilkada Gubenur dan pilkada Bupati. Sehingga pilkada hanya ada, yakni pilkada Nasional dan Pilkada daerah. Ketiga, menggabungkan pemilu legislative, pemilu presiden dan pilkada bupati/Walikota. Dalam hal ini pemilihan Gubernur dihapus. Cukup ditetapkan saja oleh presiden sebagai bagian konsistensi terhadap format otonomi daerah yang berbasis di kabupaten/walikota. Sehingga dalam setahun, penduduk Indonesia hanya mencoblos sekali lima tahun. Ketiga desain tersebut menjadi ikhtiar untuk menciptakan sisten pemilu yang efektif dan efisien. Desain pertama mungkin saat ini sudah bisa diusahakan mengingat saat ini DPR masih melakukan pembahasan seputar RUU Pemilihan presiden. Artinya, tidak menutup kemungkinan pemilu 2009 akan dating pemilihan legislative dan pemilihan presiden dapat dilaksanakan secara bersamaan.
Aspek kedua soal sumber daya manusia. Pemilu maupun pilkada melibatkan dukungan SDM yang besar, mulai dari level Kelompok Panitia Pemilihan Suara (KPPS) yang ada di TPS, Petugas Pemilihan Suara (PPS) yang ada di Kelurahan/Desa, Petugas Pemilihan Kecamatan (PPK) di Kecamatan, KPUD Kabupaten, KPUD Provinsi dan KPU Pusat. Rinciannya, 33 KPU provinsi, 456 KPU kabupaten/kota, 5.622 panitia pemungutan kecamatan, 138 panitia pemilihan luar negeri, serta 77.757 panitia pemilihan suara. Menurut sumber KPU untuk PPK dan PPS saja misalnya menghabiskan Rp 8,2 triliun untuk PPS dan Rp 437,6 miliar untuk PPK. Selain itu, pasca disahkannya UU nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, institusi pengawasan pun juga memberi beban biaya yang tidak ringan. Mengingat Panwaslu Pusat yang dulu bersifat ad hoc, sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat permanen. Selain itu, menurut UU 22 Tahun 2007, institusi panwaslu saat ini sudah sampai di level desa yang disebut PPL(Pengawas Pemilu Lapangan) yang dulu hanya sampai di level kecamatan (pasal 82). Selain terjadi ektensifikasi institusi, UU 22 tahun 2007 juga melakukan intensifikasi terhadap durasi masa kerja PPS dan PPK. Menurut pasal 42 dan 45, masa kerja PPK (5 orang) dan PPS (3 orang) selama 8 bulan, yakni dibentuk paling lambat 6 sebelum hari H dan dibubarkan paling lambat 2 bulan setelah hari H. Masa kerja 8 bulan tersebut masih berpotensi diperpanjang apabila pada pemilu atau pilkada terjadi pemilihan putaran kedua. Masa kerja tersebut untuk 1 kali pemilu, padahal di setiap tahun minimal ada 5 pemilu/pilkada. Sehingga, dari dua institusi ini saja, kalkulasi biaya sudah bisa dihitung besarnya biaya pemilu.
Dalam konsteks ini, upaya efesiensi mesti segera dilakukan, sebab bagian pembiayaan SDM inilah menjadi biaya terbesar administrasi pemilu ataupun pilkada. Oleh karena itu beberapa strategi dalam melakukan efesiensi adalah pertama, menunjuk pegawai negeri sipil di setiap level pemerintahan untuk melaksanakan tugas pemilu di masing-masing level. Misalnya, untuk PPK, cukup memaksimalkan pegawai kecamatan yang ada di kantor kecamatan, sehingga honor PPK yang berasal dari PNS cukup bersifat tunjangan semata. Sebab mereka setiap bulan sudah menerima gaji pokok dari negara. Hal ini menimbang bahwa secara factual saat ini agenda kerja PNS di lingkungan kecamatan maupun kelurahan tidak terlalu padat. Sehingga revitalisasi kinerja PNS di kantor kecamatan dan Kelurahan dapat dilakukan dengan memberdayakan mereka dalam aktvitas pemilu. Menurut UU 22 tahun 2007, komposisi PPK maupun PPS masih terbuka untuk tokoh masyarakat, artinya PNS justru memiliki peluang yang kecil. Memang ada kekhawatiran adanya politisasi PPK dan PPS apabila terdiri dari unsure PNS. Kekhawatiran ini mengingat banyak incumbent yang notabene adalah atasan PNS tersebut. Namun kekhawatiran ini sudah bisa diminimalisir dengan disahkannya revisi UU 32 tentang pemerintahan daerah yang mengatur pelaksanaan pilkada. Dalam materi perubahan tersebut, Incumbent yang maju dalam pilkada wajib mundur dari jabatannya ketika sudah ditetapkan sebagai calon resmi oleh KPU. Sehingga pengaruh incumbent ke aparatnya tidak terlalu besar.
Strategi kedua dalam konteks efesiensi SDM pelaksana pemilu dan pilkada adalah dengan melakukan terobosan tekhnologi pada sub kerja yang bisa dikendalikan oleh alat teknologi. Misalnya soal mencelupkan jari ke dalam tinta. Saat ini pada setiap TPS mesti ada satu orang petugas yang berjaga di depan tinta celup. Sesungguhnya apabila tanda pasca mencoblos bisa dialihkan ke alat tekhnologi maka bisa terjadi efesiensi SDM dan lebih menjamin akuntabilitas. Selain itu, pada pos pendaftaran dan verifikasi pemilih yang dating ke TPS, proses pencocokan pemilih yang datang di TPS dengan daftar pemilih tetap masih dilakukan dengan manua dengan seorang petuga. Namun apabila proses pendaftaran dialihkan ke media yang berbasis tekhnologi, maka pendaftaran ketika pemilih datang ke TPS dapat dikoneksikan secara otomatis dengan DPT dan mampu mempermudah proses penghitungan TPS. Dan selanjutnya dukungan tekhnologi itu mampu meminimalisir penggelembungan dan manipulasi jumlah pemilih dan suara. Singkatnya, perlu dipertimbangkan alih fungsi dari tenaga manusia ke alat bantu tekhnogi dengan tetap berpegang pada prinsif efesiensi.
Aspek ketiga yang mesti diupayakan adalah dengan mengefektfikan kerja-kerja yang bersifat administrative tekhnis sehingga melahirkan efesiensi kerja. Dalam hal ini beberapa bagian tekhnis penyelenggaran pilkada cenderung membuang energy termasuk biaya. Contoh kasus misalnya dalam pengadaan TPS. Dalam PP no 6 tahun 2005 sudah mengisyaratkan bahwa batas maksimal DPT pada setiap TPS adalah 600 pemilih. Artinya di setiap TPS memungkinkan alokasi pemilih sampai 600 pemilh. Namun pada faktanya masih banyak PPK yang melaksanakan kebijakan pembentukan TPS versi UU Pemilu legislative dan Pilpres tahun 2004 yang mengisyaratkan setiap TPS maksimal 300 pemilih. Sehingga dalam pilkada sering ditemukan satu TPS hanya berjarak 100 meter dengan TPS lainnya. Khusus di daerah Jawa, ketika dicek masing-masing TPS tersebut hanya terdaftar 300-an pemilih. Jumlah tersebut tidak pernah maksimal karena jumlah tertentu pemilih yang tidak hadir di TPS sudah diketahui jauh hari sebelum hari H. Hal ini karena beberapa factor seperti perantau yang tidak memungkinkan pulang kampung dengan jumlah yang signifikan di setiap TPS. Pada akhirnya, beberapa TPS yang berdekatan tersebut hanya dihadiri pemilih maksimal 300 pemilih. Artinya dengan alokasi 600 pemilih, sesungguhnya banyak TPS yang bisa dimerger untuk efesiensi. Ketidakefektifan TPS yang terlalu banyak dengan jumlah pemilih yang sedikit dapat dilihat dari sepinya TPS ketika sudah memasuki jam 10.00- sampai jam 11.00. Karena dengan 300 pemilih, sesungguhnya hanya membutuhkan 3- 4 jam proses pencoblosan, artinya maksimal sampai jam 11.00.
Dalam hal efesiensi logistic, perlu dipertimbangkan alat-alat yang lebih murah namun tetap bisa mendukung pelaksanaan pencoblosan secara maksimal. Seperti kotak suara misalnya, alangkah baiknya apabila kotak suara tidak mesti terbuat dari seng. Namun bisa memilih dari bahan dari plastic. Selain lebih murah, kotak suara dari plastic juga lebih cenderung dan simple. Selain factor jenis kotak suara, perlu dipertimbangkan kebijakan untuk menggunakan kotak suara dalam berbagai pemilu. Karena ada kecenderungan di beberapa tempat, setiap pasca pemilu 2004 semua logistic mesti baru, termasuk kotak suara. Padahal logistic yang dipakai pada pemilu 2004 masih layak pakai.
Akhirnya ikhtiar untuk mewujudkan pemilu dan pilkada yang hemat menjadi tuntutan proses demokratisasi saat ini. Point ini penting untuk memberikan pertimbangan rasional bagi public dalam memberikan apresiasi terhadap proses demokratisasi. Sejujurnya dengan kondisi perekonomian yang kritis saat ini, maka apresiasi public cukup rendah terhadap proses demokratisasi yang cenderung boros. Pada titik ini,maka partisipasi public pada pemilu dan pilkada juga akan rendah. Semoga resesi ekonomi yang saat ini terjadi yang kemudian disertai dengan program hemat oleh pemerintah di berbagai sector juga akan berdampak pada kebijakan terhadap pelaksanaan pemilu yang efesien. Mungkin itu

[+/-] Read More...

Acara pidana : Saksi dan Korban

KUHAP tidak mengatur tentang perlidungan pelapor, saksi dan korban. Sehingga sering kali sebuah kasus jadi mandek atau terkatung-katung. Dan penyidik/JPU sangat kesulitan, akibat pelapor, saksi, korban takut untuk memberikan keterangan. Sebab jika memberikan keterangan maka keselamatan jiwa diri pribadi maupun keluarga terancam oleh tersangka/terdakwa. RUU KUHAP harus mengatur secara jelas dan rinci soal perlindungan pelapor, saksi dan korban, walupun telah ada UU perlindungan saksi dan korban. Apalagi sekarang telah dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK.

Pada proses pemeriksaan di pengadilan, ternyata tidak dikembangkan pemeriksaannya, hanya terpaku pada berkas BAP. Misalnya hakim/jaksa yang memeriksa saksi/terdakwa dengan metode bertanya seperti ini:
Hakim/JPU : ”Apakah saksi/terdakwa pernah diperiksa oleh polisi?”
Saksi/terdakwa : ”Betul”
Hakim/JPU : ”Apakah betul ini tandatangan/jempol saksi/terdakwa?”
(hakim/JPU biasanya memanggil saksi/terdakwa untuk diperlihatkan BAP serta bagian yang ditandatangani/jempol)
Saksi/terdakwa: ”betul”
Hakim/JPU :”Apakah betul semua keterangan dalam BAP ini?”
Saksi/terdakwa : ”Betul”
Ada perkara yang disidang hanya tiga kali saja. Sidang pertama, pembacaan dakwaan, dilanjutkan dengan pembuktian. Sidang kedua, tuntutan. Dan sidang ketiga, putusan. Cara-cara seperti ini sering dipakai atas diri terdakwa yang tidak didampingi oleh penasihat hukum
Pada proses pembuktian, satu hal yang sangat populer saat ini adalah peran saksi ahli kian menonjol. Faktanya banyak perkara yang diputus dengan menjadikan keterangan ahli sebagai dasar pembenaran. Padahal banyak ahli yang memberikan keterangan sangat diragukan objektifitasnya ataukah memberikan keterangan by order. Sehingga bukannya berfungsi sebagai saksi ahli tapi hanya ahli dalam bersaksi. RUU KUHAP harus mengatur batasan yang jelas tentang ahli, dan ahli yang diajukan oleh JPU maupun terdakwa harus dicarikan ahli pembanding oleh Majels Hakim.
Kelemahan KUHAP yang lainnya adalah soal putusan. Banyak putusan yang menjatuhkan pidana, tapi dalam diktum putusannya tidak mencantumkan secara tegas adanya perintah untuk segera menahan terdakwa. Sehingga JPU tidak bisa melakukan eksekusi langsung atas putusan yang seperti ini. Dan terdakwa sekali pun dinyatakan terbukti bersalah, dia bebas untuk tidak ditahan ataukah melarikan diri. RUU KUHAP, harus mengatur bahwa pada setiap putusan harus mencantumkan perintah untuk ditahan, jika dinyatakan terbukti bersalah, walaupun ada banding atau kasasi.
Terhadap putusan, JPU kadang kesulitan. Sebab ternyata putusan yang dibacakan oleh majelis hakim, banyak yang masih berupa konsep atau tulisan tangan. Sehingga untuk melakukan eksekusi, JPU harus menunggu petikan putusan selesai. Kesempatan seperti ini biasanya digunakan oleh terdakwa untuk melarikan diri. RUU KUHAP, harus lebih mempertegas rumusan yang tercantum dalam Pasal 200 KUHAP sekarang.
Permasalahan lain adalah soal banding dan kasasi. Berkas permohonan banding/kasasi tidak dikirimkan ke PT/MA. Demikian juga terhadap putusan banding/kasasi. Dalam hal ini pengadilan/JPU tidak menyampaikan kepada yang berkepentingan. RUU KUHAP harus mengatur tentang akses para pihak untuk mengetahui sejauh mana proses banding/kasasi yang dimohonkan, sehingga tidaka ada lagi permainan kongkalikong.
Persoalan peninjaun kembali (PK). Berdasarkan Pasal 263 KUHAP, maka yang dapat mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Dalam praktek, jaksa juga dapat melakukan PK. RUU KUHAP harus dengan tegas mengatur soal PK yang dilakukan oleh jaksa. Misalnya hanya untuk putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan dengan mempunyai batas waktu pengajuan ataukah dengan tegas melarang jaksa untuk PK dengan alasan bahwa jaksa telah diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan pembuktian.
Untuk pengawasan pelaksanaan putusan, dalam praktek banyak terpidana yang ternyata tidak menjalani hukumannya, walaupun dalam register napi di LP dia tetap tercatat RUU KUHAP, harus mengatur secara tegas pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan putusan, dan jika memungkinkan membentuk lembaga khusus untuk hal ini.
Terakhir masalah koneksitas. Dalam praktek aturan dalam KUHAP sering diabaikan, karena adanya unsur superior peradilan militer. Seolah-olah jika pelaku tindak pidana adalah anggota militer, maka semuanya harus diadili di peradilan militer. Padahal kerugian yang ditimbulkan tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan militer. Misalnya kasus pembunuhan bos Asaba oleh menantunya dengan menyewa anggota marinir. Tindak pidana ini jelas korbannya adalah sipil, intelektual dadernya pun sipil. Tapi anggota marinir tidak diadili di peradilan umum. RUU KUHAP, untuk mempertimbangkan keberadan aturan koneksitas kalau perlu dihapuskan saja, dengan mengingat prinsip semua orang bersamaan kedudukannya di muka hukum. Sehingga segala perbuatan pidana harusnya diadili diperadilan yang sama tanpa ada perbedaan karena hanya persoalan pekerjaan.

[+/-] Read More...

Kamis, 06 Agustus 2009

Hal Ihwal Kegentingan Memaksa dalam Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) memang diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menentukan bahwa: (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Ketentuan tersebut dipertegas di dalam Pasal 1 angka (4) dan Pasal 25 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa syarat utama penetapan sebuah Perpu oleh Presiden yaitu adanya suatu keadaan ”kegentingan yang memaksa”. Namun demikian, dalam penjelasan UU tidak dijelaskan apa definisi atau prasyarat dari ketentuan ”kegentingan yang memaksa” yang dimaksud.

Memang hingga saat ini belum ada ukuran yang jelas dan terukur tentang apa yang dimaksud dengan hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” yang dapat menjadi alasan keluarnya Perpu. Menurut Prof. Ismail Sunny mengenai keluarnya suatu Perpu dapat diartikan keadaan darurat, lebih dari itu tidak ada. Namun pemerintah bisa mengartikannya hal tersebut secara luas, dan dalam Hukum Tata Negara keadaan darurat jelas pengertiannya luas sekali.
Bila kita menelaah sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, hampir sebagian besar Perpu selalu dikeluarkan oleh Presiden pada saat negara berada dalam posisi darurat (noodsverordeningsrech). Maka dari itu, ada baiknya untuk menelusuri kembali perjalanan konstitusi RI –walaupun kini hanya dikategorikan sebagai sebuah dolumen historis– yang memberikan beberapa penjelasan mengenai hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” sebagai suatu rujukan interpretasi historis.
Pasal 139 Konstitusi RIS menjelaskan bahwa: (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera; dan (2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa undang-undang federal; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut. Sedangkan dalam Pasal 96 UUDS 1950 diatur ketentuan bahwa: (1) Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera; (2) Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, memberikan penjelasan bahwa pasal tersebut mengenai noodverordeningsrecht Presiden, dimana aturan tersebut diadakan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam Pasal 22 dimaksud, yang kekuatannya sama dengan UU, harus disahkan pula oleh DPR. Maka dari itu, persepsi yang timbul di sebagian masyarakat bahwa hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” yaitu suatu keadaan dimana negara dalam keadaan darurat untuk segera dilakukan penyelamatan, sehingga sedikit banyak harus merujuk pada Undang-undang (Prp) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.Namun demikian, Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”, sehingga hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, sebenarnya tidak sama dengan ”keadaan bahaya” seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya yang tertuang dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang memang harus didasarkan atas kondisi obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.Keterangan tersebut di atas tertuang secara jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai the interpreter of constitution terhadap perkara No. 003/PUU-III/2005 mengenai perkara Judicial Review UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.Terlebih lagi, dalam praktik ketetanegaraan selama ini, dari berbagai Perpu yang pernah dikeluarkan oleh Presiden menunjukkan adanya kecenderungan penafsiran hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” sebagai keadaan mendesak yang perlu diatur dengan peraturan setingkat undang-undang (misalnya Perpu No. 1 Tahun 1992 tentang Penangguhan Berlakunya Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, atau Perpu-Perpu yang terkait dengan Pemilu, Pilkada, dll), yang kesemuanya itu tidak ada kaitannya dengan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan UU (Prp) No. 3 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” dalam penetapan suatu Perpu pada dasarnya merupakan hak subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Meskipun demikian, Mahkamah juga memberikan rambu-rambu agar hal ikhwal ”kegentingan yang memaksa” dalam sebuah Perpu yang selanjutnya akan dikeluarkan oleh Presiden, agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara yang tercermin dalam konsiderans ”Menimbang” dari Perpu yang bersangkutan
Oleh karenanya, jiwa konstitusi sesungguhnya tidak memberikan hak subjektif kepada Presiden an sich untuk mengeluarkan Perpu secara serampangan, tetapi Perpu tersebut harus menggambarkan secara utuh kandungan ruh “kegentingan” yang menjadi latar belakang keluarnya Perpu yang bersangkutan.
Mengenai materi muatan Perpu dijelaskan dalam Pasal 9 UU No. 10 Tahun 2004, bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Lalu apa yang menjadi materi muatan Undang-Undang? Kembali kepada Pasal 8 dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: (1) hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5) kewarganegaraan dan kependudukan; (6) keuangan negara; dan diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.Untuk tata cara penetapan Perpu menjadi UU diatur dalam Pasal 25 UU No. 10 Tahun 2004 yang menyebutkan: (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; (3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku; (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Menjadi catatan khusus bagi Pemerintah, agar berhati-hati dan memperhatikan secara sungguh-sungguh penyusunan dan pembentukan suatu Perpu, sehingga Perpu yang dikeluarkan pada nantinya tidak mencerminkan bad laws yang memiliki cacat hukum di dalamnya. Analisa penulis, terhadap Perpu tersebut kemungkinan dapat terjadi 2 (dua) proses pengujian yang melibatkan lembaga yang berhak untuk melakukan pengujian (toetsingsrecht), yaitu legislative review yang dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislator, dan judicial review pada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan. Sudah barang tentu, untuk ditetapkan menjadi UU, produk Perpu mau tidak mau harus melalui lembaga DPR guna memperoleh persetujuan. Maka yang terjadi pada saat itu adalah proses legislative review, yang digunakan untuk menentukan apakah Perpu tersebut layak untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Kemudian pengujian lainnya dapat juga dilakukan di hadapan Mahkamah Konstitusi. Saat ini memang masih terjadi perdebatan tersendiri mengenai dapat-tidaknya suatu Perpu dijadikan obyek judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi, karena UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya mengatakan bahwa judicial review hanya dapat dilakukan atas suatu UU terhadap UUD. Namun, hemat penulis produk Perpu pun sebenarnya dapat juga dijadikan obyek pengujian terhadap UUD, dengan alasan: (1) Materi muatan yang terkandung di dalam UU maupun Perpu adalah sama; (2) Antara UU dan Perpu mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga jika Mahkamah Konstitusi tidak berwenang maka tidak ada satupun lembaga yang dapat melakukan pengujian terhadap sebuah Perpu, termasuk Mahkamah Agung sekalipun, karena kewenangannya hanyalah melakukan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU di atasnya; (3) Seandainya Perpu tidak dapat dijadikan obyek judicial review oleh lembaga judisial manapun, maka besar kemungkinan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden akan berpotensi untuk menjelma menjadi hukum otoriter, represif, sewenang-wenang, dan bergerak sesuai kehendak penguasa dengan libido kekuasaan belaka (machstaat), meskipun hal tersebut hanya terjadi beberapa saat (hingga DPR melaksanakan sidang) namun dapat menimbulkan korban yang meluas, karena dapat dilakukan secara berulang-ulang tanpa batasan atau koridor-koridor konstitusional.
Namun yang perlu digarisbawahi, pun seandainya Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang memeriksa judicial review atas suatu Perpu, logika sederhananya adalah kita hanya tinggal menunggu waktu saja ketika Perpu tersebut disahkan untuk menjadi sebuah produk UU maka kemudian dapat diajukan sebagai permohonan judicial review kembali. Bila semua proses pembentukan Perpu tentang Penyeleksian Ulang Hakim Agung menjadi sebuah UU berjalan dengan lancar, dan jikalau ada permohonan judicial review atas peraturan perundang-undangan tersebut ternyata juga tidak dikabulkan, maka tidak akan terjadi permasalahan atau akibat negatif apapun, karena notabennya telah terbukti secara hukum keabsahan dari lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut.
Namun tidak tertutup kemungkinan, kesalahan pemerintah dalam mengeluarkan suatu Perpu beserta akibat yang ditimbulkannya, justru dapat dikumpulkan dan dijadikan amunisi untuk proses pemakzulan oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap pihak yang berkuasa saat ini. Oleh karena itu, pemerintah haruslah benar-benar memahami secara utuh dan berhati-hati dalam proses pembentukan Perpu yang direncanakan itu, termasuk alasan-alasan yang akan dijadikan konsideran terhadap “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai syarat utama keluarnya suatu Perpu. Jika ternyata dirasa tidak cukup alasan konstitusional dikeluarkannya Perpu dimaksud, maka pemerintah tidak perlu untuk memaksakan diri untuk menindaklanjuti pembentukan Perpu tersebut guna memenuhi keinginan dan kehendak pihak-pihak yang mengusungnya.
Status Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Jika Seandainya RUU Pencabutannya Di Tolak Oleh DPR. Dalam hal pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) oleh Presiden kepada DPR, sesuai dengan Pasal 25 dan Pasal 36 UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, juncto Pasal 22 UUD 1945, harus diajukan pada persidangan berikut dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Penetapan Perpu Menjadi Undang-Undang. Pembahasan RUU Tentang Penetapan Perpu tersebut harus dilaksanakan melalui mekanisme yang lama dengan pembahasan RUU , seperti yang tercantum pada Pasal 36 Ayat (1) UU No.10 Tahun 2004. Sebagaimana diketahui bahwa pembahasan RUU di DPR harus dilakukan oleh DPR dan Presiden atau Menteri yang ditugasi, yang apabila dalam pengesahan dan penetapan RUU tersebut mejadi UU harus memperoleh persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Selanjutnya, apabila RUU tentang Penetapan Perpu menjadi UU di tolak Oleh DPR, maka Perpu tersebut dinyatakan tidak berlaku. Jika RUU tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku, maka Perpu harus dicabut melalui mekanisme Presiden mengajukan RUU Tentang Pencabutan Perpu tersebut yang dapat pula mengatur segala akibat dari penolakan tersebut (Pasal 25 Ayat (4) dan Pasal 36 Ayat (4) UU No.10 Tahun 2004). Dari hipotesis diatas, dapat diketahui bahwa Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden, harus diajukan pada persidangan berikut kepada DPR dalam bentuk RUU untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang. Jika DPR menolak RUU tersebut, maka Perpu dinyatakan tidak berlaku dan Presiden wajib mengajukan RUU tentang pencabutan Perpu tersebut. Namun yang menjadi qua ad facti ialah, tidak adanya lex scripta (Peraturan Perundang-Undangan yang tertulis) yang mencantumkan ipsis verbis secara spesifik mengenai hal penolakan RUU tentang pencabutan Perpu. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika RUU Tentang Pencabutan Perpu ditolak oleh DPR?
Memang pertanyaan tersebut masih bersifat in abstracto. Artinya, belum ada facta yang nyata mengenai penolakan DPR terhadap RUU Pencabutan Perpu. Namun, seiring dengan perkembangan dan perubahan sosio-politik, tidak menutup kemungkinan bahwa penolakan DPR terhadap RUU Pencabutan Perpu yang masih dalam tataran in abstracto akan berubah menjadi sesuatu yang in concreto.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa apabila RUU Tentang Penetapan Perpu menjadi UU ditolak oleh DPR, maka Perpu tersebut dinyatakan tidak berlaku. Untuk memperjelas status dari tidak berlakunya Perpu tersebut, maka Presiden mengajukan RUU kepada DPR untuk memperoleh persetujuan bersama agar Perpu tersebut dicabut. Namun, setiap RUU yang dibahas dalam sidang DPR, DPR mempunyai hak untuk menolak RUU yang dimaksud. Yang menjadi masalah, bagaimana seandainya dalam pembahasan RUU Tentang Pencabutan Perpu ditolak oleh DPR sehingga tidak terjadinya persetujuan bersama? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penulis beranggapan bahwa ada 2 (dua) kemungkinan variabel alternative yang dapat di tempuh. Kemungkinan variabel pertama, yaitu kembali ke mekanisme yang lama dengan pembahasan RUU. Akan tetapi, jika merujuk kepada mekanisme yang lama ini, maka ada 2 (dua) item pendekatan yang membuat variabel ini menjadi lemah;
1.Terjadinya ketidakjelasan status secara temporer terhadap Perpu yang sudah ditolak. Pasal 20 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Jika Rancangan Undang-Undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Penegasan ini tidak dicantumkan pada Pasal yang termuat dalam UU No.10 Tahun 2004, akan tetapi tercantum dalam Pasal (30) Peraturan Presiden (Perpres) No.68 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Pasal (30) tersebut menyatakan bahwa, “Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama.” Artinya, apabila RUU Tentang Pencabutan Perpu tidak mendapatkan persetujuan bersama, maka RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi pada sidang yang sama pada masa itu. Logika sederhananya, apabila RUU tersebut tidak boleh lagi diajukan pada masa sidang yang sama, maka Presiden harus menunggu hingga masa sidang berikutnya. Hal ini mengakibatkan adanya rentang waktu yang menjadikan Perpu tersebut mengambang tanpa status, yaitu sudah dinyatakan tidak berlaku namun belum dicabut. Sedangkan, tidak satu pun lex scripta yang menegaskan tentang status Perpu yang sudah ditolak dan dinyatakan tidak berlaku namun Perpu tersebut belum di cabut. Timbul pertanyaan krusial, bagaimana mungkin Perpu yang sudah di tolak atau tidak mendapatkan persetujuan oleh DPR, pencabutannya harus ditunda? Bagaimana seandainya jika pada masa sidang berikutnya RUU Tentang Pencabutan Perpu kembali di tolak oleh DPR, apakah pencabutannya harus di tunda lagi?
2.Tidak adanya dasar hukum yang mengatur RUU Tentang Pencabutan Perpu dengan dilaksanakan melalui mekanisme yang lama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. Dalam Pasal 36 Ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 hanya menjelaskan bahwa, “Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang lama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.” Jika memakai interpretatie secara argumentum a contrario, maka yang dapat dilaksanakan melalui mekanisme yang lama dengan pembahasan RUU adalah tentang ‘Penetapan’ Perpu menjadi UU. Bukan tentang ‘Pencabutan’ Perpu. Artinya, pembahasan yang dapat dilaksanakan melalui mekanisme yang lama ialah RUU tentang Penetapan Perpu menjadi UU, dan tidak untuk pembahasan RUU tentang Pencabutan Perpu.
Dari pendekatan kedua item di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila memakai variabel alternative untuk kembali ke mekanisme yang lama dengan pembahasan RUU bilamana RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut ditolak, maka variabel tersebut dapat dikatakan lemah baik secara politis maupun secara yuruidis. Dikatakan lemah secara politis, karena apabila pencabutan Perpu tertunda maka akan terjadi ketidakjelasan pada status Perpu tersebut yang sudah dinyatakan tidak berlaku. Dikatakan lemah secara yuridis, karena tidak adanya dasar hukum yang mengatur untuk kembali ke mekanisme yang lama dalam hal pembahasan pencabutan Perpu. Kemungkinan variable kedua, yaitu dengan menggunakan interpretatie (penafsiran). Sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 25 Ayat (4) dan Pasal 36 Ayat (4) UU No.10 Tahun 2004, bahwa “dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.” Pasal ini merupakan materi muatan yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945, utamanya pada Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa, “jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.” Untuk mengetahui maksud dari pasal 22 Ayat (3) ini, maka dapat digunakan metode interpretatie gramatikal (penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata). Redaksi atau bunyi dari kata “jika tidak mendapat persetujuan”, artinya bahwa apabila RUU Tentang Penetapan Perpu menjadi UU, ditolak oleh DPR. Selanjutnya, arti bunyi dari kata “peraturan pemerintah itu”. Peraturan pemerintah yang dimaksudkan ialah peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Setelah itu, bunyi dari kata “harus dicabut”. Kata “harus” inilah yang menjadi titik pangkal dari interpretasi ini. Terlebih dahulu, haruslah diketahui arti dari kata ‘harus’ itu sendiri. Dalam bahasa sehari-hari/bahasa kebiasaan, kata ‘harus’ ialah identik dengan kata ‘wajib’. Hal ini juga dijelaskan dalam kamus praktis Bahasa Indonesia, bahwa kata ‘harus’ berarti sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan. Yang jadi pertanyaan, siapa yang dikenakan kewajiban untuk mencabut Perpu sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945? Presiden ataukah DPR? Jawabannya ialah, DPR. Ada 2 (dua) asumsi mengapa DPR yang dikenakan kewajiban untuk mencabut Perpu tersebut. Asumsi pertama, yaitu bahwa yang mengajukan RUU Pencabutan Perpu adalah Presiden, yang dimana RUU tersebut sebelumnya telah disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini, sebelum RUU tersebut diajukan ke DPR, Presiden atau Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Nondepartemen, dalam prosesnya, haruslah mempersiapkan RUU tersebut dengan perencanaan dan pemantapan konsepsi RUU yang matang. Artinya, dalam hal Presiden mengajukan RUU kepada DPR, maka Presiden hanyalah meminta persetujuan dari DPR, karena secara otomatis Presiden pastilah menyetujui RUU yang telah dia ajukan sendiri. Logika sederhananya, tidak mungkin Presiden mengajukan RUU namun pada akhirnya dia sendiri yang menolaknya. Dengan kata lain, Presiden mengajukan RUU yang sudah pasti dia setujui. Tinggal bagaimana Presiden meminta persetujuan dari DPR. Asumsi kedua, yaitu letak tata bahasa dari Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945, berada pada BAB VII yang membahas tentang Dewan Perwakilan Rakyat. Karena Pasal 22 Ayat (3) tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit siapa yang dikenakan kewajiban untuk mencabut Perpu, maka yang ditinjau selanjutnya ialah lingkup dimana pasal tersebut berada. Pasal 22 Ayat (3) berada pada lingkup BAB VII yang membahas tentang DPR. Artinya, karena pasal tersebut letaknya berada pada lingkup yang membahas tentang DPR, maka yang dikenakan kewajiban/keharusan untuk mencabut Perpu ialah DPR itu sendiri. Dari kedua asumsi diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa setelah menggunakan metode interpretatie, maka redaksi/bunyi kata yang tertuang dalam Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 adalah sama dengan “jika RUU Tentang Penetapan Perpu menjadi UU tidak mendapatkan persetujuan, maka Perpu tersebut harus dicabut oleh DPR.” mengapa hanya DPR saja yang harus mencabut Perpu tersebut. Bukankah dalam pencabutan Perpu haruslah mendapatkan persetujuan bersama, dengan kata lain Presiden juga harus mencabut Perpu tersebut? Memang betul bahwa Presiden pun harus menyetujui tentang pencabutan Perpu tersebut. Namun berlandaskan logika asumsi pertama diatas bahwa tidak mungkin Presiden mengajukan RUU yang pada akhirnya dia sendiri tidak menyetujuinya. Artinya, secara otomatis Presiden pastilah menyetujui tentang pencabutan RUU tersebut. Tinggal bagaimana Presiden meminta persetujuan dari DPR untuk pencabutan Perpu.
Selanjutnya, timbul pertanyaan, kapan pencabutan suatu Perpu ditetapkan apabila sudah dinyatakan tidak berlaku? Yaitu pada masa sidang berikutnya. Mengapa, karena untuk menyusun RUU tentang Pencabutan Perpu membutuhkan jeda waktu. Artinya, pengajuan RUU tentang Pencabutan Perpu dilakukan pada masa sidang berikutnya. Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana seandainya jika RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut ditolak oleh DPR? jawabannya, DPR tidak boleh menolak RUU tersebut. Alasannya, pertama , yang menolak RUU Tentang Penetapan Perpu menjadi UU ialah DPR. karena Presiden tidak mungkin menolak RUU yang dia ajukan. Hal ini ditegaskan pula pada Pasal 36 Ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.” Karena DPR telah menolak untuk ditetapkannya Perpu menjadi UU, maka konsekuensi logisnya ialah DPR harus menerima/tidak boleh menolak RUU yang diajukan oleh Presiden tentang Pencabutan Perpu. Apalagi setelah digunakan metode interpretasi gramatikal terhadap Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 yang hasil pengertiannya identik dengan, apabila RUU tentang Penetapan Perpu Menjadi UU tidak mendapatkan persetujuan atau ditolak oleh DPR, maka perpu tersebut wajib dicabut oleh DPR. yang artinya, dengan alasan apapun, DPR tidak boleh menolak RUU yang diajukan oleh Presiden tentang Pencabutan Perpu.

Penulis : pan mohamad faiz kusumawijaya, SH.

[+/-] Read More...

Otonomi daerah yang bermasalah

Di indonesi Daerah yang tertinggal sangat banyak. ada realitas yang menjelaskan pada kita bahwa ternyata ada satu daerah tertinggal dimekarkan menjadi tiga daerah otonom, maka secara administratif, jumlah daerah tertinggal menjadi tiga, yaitu satu daerah induk yang dari awalnya memang sudah tertinggal dan tambahan dua lagi dari daerah otonom baru.
Namun demikian, dimekarkan ataupun tidak, dua wilayah yang menjadi daerah otonom baru tersebut tetap saja tertinggal. Hanya yang pasti, dengan pemekaran ini, kedua wilayah tersebut mempunyai peluang untuk lebih diperhatikan dan keluar dari ketertinggalan.

Bagaimana tidak, dengan menjadi daerah otonom maka pelayanan masyarakat menjadi lebih dekat dan memiliki anggaran yang dikelola sendiri yang dapat digunakan untuk membangun wilayah tersebut. Sewaktu bergabung dengan daerah induk, boleh jadi alokasi anggaran ke wilayah tersebut sangat kecil.
Penghentian kebijakan pemekaran daerah oleh pemerintah sementara ini bukanlah masalah daerah. Tapi masalah pusat, karena pusat tidak memiliki cukup dana. Jumlah daerah merupakan angka pembagi dalam formula penentuan Dana Alokasi Umum (DAU). Yang dirugikan sebetulnya daerah induk, karena alokasi APBN untuk daerah menjadi terbagi kepada daerah otonom baru. Namun biasanya, jumlah DAU yang diterima daerah induk setelah pemekaran minimal sama dengan sebelum terjadinya pemekaran, maka kebutuhan dana akibat pemekaran ini menjadi beban tambahan bagi pusat.
Kendati pemekaran daerah membuka peluang untuk menjadi sarana keluar dari ketertinggalan, namun dalam faktanya sekarang masih sulit diwujudkan karena berbagai persoalan yang menyelimuti daerah otonom baru tersebut.
PP 129 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Terjadinya berbagai konflik di masa transisi pasca pemekaran telah menjauhkan atau paling tidak memperlambat tujuan pemekaran daerah. Di samping itu, dari hasil studi yang dilakukan penulis bersama Tim dari Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS tahun 2004, ditemukan bahwa belum meningkatnya pelayanan kepada masyarakat di beberapa daerah otonom baru disamping karena persoalan konflik tadi diantaranya diakibatkan juga oleh persoalan kelembagaan, infrastruktur, dan Sumber Daya Manusia.
Dalam aspek kelembagaan, ditemui bahwa beberapa daerah otonom baru saat membentuk unit-unit organisasi pemerintah daerah tidak sepenuhnya mempertimbangkan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru sepertinya menjadi sarana bagi-bagi jabatan. Terlihat juga adanya kelambatan pembentukan instansi vertikal, serta kurangnya kesiapan institusi legislatif sebagai partner pemerintah daerah.
Untuk infrastruktur, sebagian besar daerah otonom baru belum didukung oleh prasarana dan sarana pemerintahan yang memadai. Banyak kantor pemerintahan menempati gedung-gedung sangat sederhana yang jauh dari layak. Ditemui di beberapa daerah, aula sederhana disekat-sekat papan triplek untuk ditempati beberapa dinas.
Dalam hal Sumber Daya Manusia secara kuantitatif relatif tidak ada masalah, walaupun masih juga ditemui ada Kantor Bappeda yang hanya diisi oleh 2 (dua) orang, yaitu 1 (satu) orang Kepala Bappeda dan 1 (satu) orang staf. Secara kualitas yang menonjol adalah penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, misalnya ditemui ada Kepala Dinas Perhubungan berlatar belakang Sarjana Sastra.
Hal lain yang juga penting adalah persoalan leadership dan kejuangan dari Pimpinan Daerah beserta staf untuk berani hidup “menderita” di daerah baru yang sangat minim fasilitas. Hal ini penting untuk digaris bawahi, karena sampai saat ini banyak Kepala Daerah dan pejabat lainnya dari Daerah Otonom Baru masih lebih banyak tinggal dan berkantor di ibu kota daerah induk. Kalau begini, kapan melayani masyarakatnya ?
Beberapa permasalahan yang menyelimuti daerah otonom baru ini tentunya menjadi kendala tersendiri dalam upaya pengentasan daerah tertinggal.
Beberapa pihak terkait, khususnya Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), sudah seharusnya mempunyai perhatian lebih terhadap permasalahan daerah otonom baru ini. Betapa tidak, dari 199 daerah tertinggal yang menjadi tanggungjawab KPDT ada 45 % yang merupakan daerah otonom baru.

[+/-] Read More...

Metode Persidangan Umum

Metode berarti cara.
Sedangkan Persidangan dapat diartikan sebagai suatu forum yang menyelesaikan atau memecahkan suatu masalah. Jadi pengertian dari metode persidangan itu sendiri adalah cara menyelesaikan suatu masalah dalam suatu forum berdasarkan hal / agenda yang telah dijadwalkan / dirumuskan sebelumnya.

Ada beberapa bentuk / model persidangan, antara lain yaitu:

1.bentuk U / tapal kuda
Merupakan bentuka persidangan yang paling efektif karena semua peserta sidang bisa benar-benar terfokus perhatiannya. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari bentuk persidangan ini.

2.bentuk lingkaran
Bentuk persidangan seperti ini memiliki kelemahan, yaitu tidak dapat debedakan secara tegas antara pemateri, moderator, dan notulen dengan para peserta sidang. Contoh forum yang pernah menggunakan bentul persidangan seperti ini yaitu Konferensi Meja Bundar (KMB).

3.bentuk berpanjar
Kelemahan dari bentuk persidangan seperti ini yaitu peserta yang duduk di belakang kemungkinan besar tidak fokus terhadap forum tersebut. Contohnya yaitu pada acara-acara seminar pada umumnya.

4.bentuk komisi
Untuk bentuk persidangan seperti ini, memiliki kelemahan pula, yaitu jarak antar komisi yang berdekatan akan menyebabkan kurangnya konsentrasi / bahkan tidak adanya konsetrasi dari pemateri sidang maupun pesertanya.


Dalam membahas metode persidangan, kita tidak hanya membicarakan tentang bentuk persidangan / model forum, namun juga kita harus mengetahui macam-macam persidangan. Ada 2 macam sidang, yaitu:
1.Sidang formal
Dalam sidang formal, semua komponen-komponen sidang harus terpenuhi.

2.Sidang informal
Sedangkan dalam sidang informal, tidak harus memenuhi semua komponen sidang.


Adapun komponen-komponen sidang, antara lain:
1. pimpinan sidang, adalah orang-orang yang telah ditunjuk sebelumnya oleh peserta sidang yang mempunyai tugas untuk mengarahkan sidang dan ,menetapkan hasil keputusan yang telah disepakati oleh seluruh peserta sidang. Pimpinan sidang biasanya terdiri dari 3 (tiga) orang, yakni pimpinan sidang ketua; pimpinan sidang sekretaris (notulen) yang bertugas untuk mencatat segala ketetapan yang telah disepakati dalam persidangan untuk kemudian diarsipkan; dan pimpinan sidang anggota yang mendampingi pimpinan sidang ketua dan pimpinan sidang sekretaris
2. peserta, yaitu peserta yang mengikuti proses persidangan yang merupakan anggota dari organisasi tersebut. Peserta sidang ini nantinya merupakan penentu setiap kebijakan/keputusan dari permasalahan yang dibahas dalam persidangan
3. masalah / topik yang dibicarakan, yakni materi/konsep permasalahan yang akan dibahas didalam persidangan. Materi ini merupakan rangkuman dari beberapa pokok-pokok permasalahan yang ada dalam tubuh organisasi tersebut
4.tempat / ruangan
5.palu sidang.

Untuk sidang formal, keenam komponen tersebut semuanya harus dipenuhi. Sedangkan untuk sidang informal, tidak semua komponen tersebut harus dipenuhi. Biasanya yang tidak dipenuhi dalam sidang informal yaitu palu sidang dan notulen.


Di atas sudah dijelaskan tentang macam-macam sidang. Selain macamnya, sidang juga ada beberapa jenis, yang mungkin sudah lama kita ketahui, yaitu:
1.Sidang Umum
Yaitu sidang yang sudah diagendakan sebelumnya.

2.Sidang Istimewa
Yaitu sidang yang membiacarakan masalah-masalah khusus.

3.Sidang Komisi
Merupakan sidang yang hasilnya nantinya akan dituangkan di rapat pleno.

4.Sidang Luar Biasa
Adalah sidang yang tidak terjadwalkan. Contohnya yaitu bila presiden meninggal dunia, maka akan dilaksanakan sidang luar biasa.


Ada beberapa istilah-istilah dalam sidang yang sering kita dengar. Istilah-istilah tersebut penting untuk kita ketahui, adapun diantaranya:
1.Pending
Yaitu penundaan sidang selama beberapa waktu tertentu.

2.Skorsing
Merupakan penundaan sidang juga, namun waktunya jauh lebih singkat. Skorsing sidang biasanya dilakukan pada saat masuk waktu ishoma.

3.Interupsi
Yaitu mengeluarkan pendapat tanpa ijin moderator.

4.Klarifikasi
Mengeluarkan statement / pernyataan tertentu yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan. Klarifikasi dilakukan apabila terjadi kesalahpahaman tentang sesuatu.

5.Find of order
Penyampaian pendapat yang tidak berhubungan dengan sidang.

6.Kuorum
Yaitu banyaknya jumlah peserta yang harus hadir untuk mencapai kesepakatan. Biasanya 2/3 dari keseluaruha jumlah peserta, atau ½ jumlah keseluruhan + 1 orang peserta aau tergantung tata tertib sidang.


Di samping istilah-istilah sidang yang perlu kita ketahui, kita juga perlu mengetahui makna dari ketukan palu sidang, karena palu sidang tidaklah diketuk tanpa makna. Ada 3 macam ketukan palu sidang berdasarkan banyaknya ketukan, yaitu:

a.1 kali ketukan
Berfungsi untuk mengesahkan keputusan yang bersifat sementara. Contohnya yaitu bila akan menskorsing sidang.

b.3 kali ketukan
Untuk mengesahkan keputusan yang sifatnya sah dan tidak dapat diganggugugat.

c.2 kali ketukan
Untuk menegur peserta sidang yang ribut agar diam.


Tata cara penyerahan / pengalihan sidang:
Penyidang lama:
“Dengan mengucapkan alhamdulillah, saya menyerahkan sidang yang lama pada pimpinan sidang / penyidang yang baru (bisa juga nama penyidang baru disebutkan)”
Lalu ketuk palu 1 kali.

Penyidang baru:
“Dengan mengucapkan alhamdulillah saya terima penyerahan sidang dari pimpinan sidang / penyidang yang lama (bisa juga sebutkan nama penyidang lama)”
Lalu ketuk palu 1 kali.

Proses Skorsing
“Saya skorsing sidang dari pukul ….sampai pukul ….”
Lalu ketuk palu 1 kali.

Mencabut Skorsing Sidang
“Saya cabut skorsing sidang”

Lalu ketuk palu 1 kali.

wassalamu alaikum wr.wb
Penulis : Irwan Hukum 05 UNHAS

[+/-] Read More...

Siri' na Pacce : suatu awal pencerahan kemanusiaan yang terkandung dalam budaya Sul-sel (Makassar-Bugis-Mandar-Luwu-Tator)

Kebudayaan merupakan sebuah kompleksitas sosial yang didalamnya mengandung makna dan nilai yang sangat kompleks juga. diantaranya adalah, kebudayaan dianggap sebagai sebuah sistem pengetahuan, gagasan, dan ide yang kemudian menjadi landasan fundamental dalam sosial comunity baik dalam berfikir maupun dalam bertindak. dan kebudayaan ini pula memiliki hegemoni pengetahuan terhadap masyarakat baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, seni dan keyakinan maupun dalam hal pengawalan terhadap perubahan (chance).

Indonesia sebagai negara yang memiliki peradaban yang tinggi dan beragam budayanya menghiasi seluruh wilayah nusantara. terkhusus di sulawesi-selatan ada yang dinamakan budaya "siri' na pacce" yang mengakar dalam jiwa masyarakat sul-sel. secara konseptual patut diyakini bahwa budaya siri'merupakan sebuah sistem yang kompleks dan memiliki nilai tersendiri dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Budaya siri' mengutamakan kejujuran dan komitmen, mengarahkan untuk cerdas dalam berfikir dan bijak dalam bertindak, menjunjung tinggi harga diri dan martabat kemanusiaan (humanis), refleksi harga diri dalam kinerja agung dan prestasi, mengutamakan kewajiban daripada hak, rasa malu apabila melanggar aturan, satu kata dengan perbuatan, solid dan berorientasi ke depan.
Tetapi kemudian harus dipahami bahwa budaya siri' na Pacce bukan sesuatau yang diajarkan secara formal tetapi ia muncul dari kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka tidak boleh dipaksa untuk melakukan sesuatu diluar kebiasaan tersebut akan tetapi membutuhkan sesuatu yang berangkat dari kesadaran dan kebiasaan sebagaimana yang terkandung dalam budaya lokal sulawesi-selatan yakni diantaranya Keterbukaan/Akuntabilitas, Demokratis, Profesionalisme,dan kemandirian, serta kalitas manusia yang bermutu.

[+/-] Read More...

Selasa, 02 Juni 2009

Be A Good Lawyer

Every year new sets of lawyers are being produced worldwide. And law offices are becoming crowded of lawyers with different specializations in the field of law. New aspirant lawyers have different reasons why they want to be a lawyer. Most people say the want to be a public servant, to help those who are oppressed, for sense of achievements and others for their own personal intentions. Good intentions may help them to become a good lawyer, but the question is how to become a good lawyer.
A good lawyer comes from being a person of good character, but technically, good lawyers should accomplish satisfactory if not excellent grades from any 4 year courses in college (bachelors' degree) and must have 3 years in law school.



A good lawyer uses critical understanding in assigned cases and makes use of analytical skills in solving a problem. Organization skills are also important in setting goals. A lawyer who knows how to organize his activities generally achieves them on time with self-fulfillment and pride. Fluency in the English language is a great advantage for lawyers, as they will find it easy to communicate and to express their ideas or opinions in a courtroom. Writing skills are also important when a judge is asking an attorney to report on a case or write legal documents. Lawyers must have adequate knowledge on basic law and related sciences: logic, philosophy, ethics, economics, public speaking, foreign languages and constitutional rights.
Aspiring students must pass the Law School Admission Test (LSAT) in a half-day standardized test required before admission to Law School. It's a standard measure of reading and verbal reasoning skills that law schools use as one of several factors in assessing applicants. The test in conducted in different nations, given four times yearly.
Prior to submission on law school, a lawyer must decide his field of interest or specialization to put into practice. Some lawyers find it advantage to specialize based on their college courses. A student graduated of accountancy is best suited to become a corporate lawyer. A pre-med graduate finds it's easy to deal with legal matters in the court concerning medical malpractice and other medico-ethical cases. Good lawyers initiate and perform their job well if familiarity in legal issues governed the case is established. Others take different fields of specialization aside from their course in college for they find it a challenge to tackle unfamiliar fields of interest. It's also good for a lawyer to stand for what he believes in, but it even better if a lawyer seeks opinions from other lawyers or seniors. This allows collaboration of opinions and derivation of a better solution or conclusion to a problem.
A good lawyer, who wants to acquire knowledge, should submit himself for an internship in a courtroom or be a student assistant of a court lawyer. Experiencing and observing what a real lawyer does is a good teacher of how to become a lawyer. Senior lawyers are more experienced and usually are more knowledgeable on legal issues. The more you get along with them, the more knowledge you will acquire and the better you will become.
Lastly lawyers who have respect and compassion are sometimes respected and admired. Not all can gain merits from the judge of the courtroom or their superiors. These are only given to those who perform their job well. To become a good lawyer it takes, talent, persistence and perseverance.

Be A Good Lawyer

[+/-] Read More...

Selasa, 03 Februari 2009

DUNIA ISLAM dan OBAMA

Salah satu yang ditunggu oleh umat Islam pascapelantikan Presiden AS Barrack Hussein Obama ialah langkah dan kebijakannya tentang dunia Islam.
Dalam pidato inaugurasi pascapelantikan, Obama menyatakan akan membangun hubungan yang saling menguntungkan dan saling menghormati antara AS dan dunia Islam. Lebih lanjut, dalam wawancara pertamanya televisi al-Arabiya, Obama secara lebih spesifik menyatakan bahwa pemerintah AS saat ini akan lebih banyak mendengarkan daripada mendiktekan keinginannya kepada dunia Islam, khususnya tentang masalah Timur Tengah. Bahkan Obama juga menjanjikan kunjungan kenegaraan ke negara muslim terbesar sesegera mungkin.

Namun penulis berargumen bahwa tidak sepatutnya berharap terlalu tinggi kepada Obama. Kebijakan politik Obama akan ditentukan oleh visi dan opini pribadinya serta juga keterikatannya dengan platform Partai Demokrat yang liberal. Memang latar belakang kultural Obama yang unik diharapkan mampu melahirkan diplomasi yang bijaksana untuk memenangkan simpati dari orang-orang yang kecewa George Bush. Pada level inilah, kecenderungan multikultur Obama diharapkan bisa bertemu dengan keinginan kaum muslim akan hubungan antarperadaban yang lebih konstruktif di masa depan.
Umat Islam AS
Pilpres 2008 mencatat rekor besarnya partisipasi pemilih muslim yang memilih Obama. Data yang dikeluarkan Center for Muslim Studies memperkirakan sekitar 70% sampai 90% pemilih muslim memilih Obama. Di negara bagian Virginia di mana Capres Partai Demokrat belum pernah menang dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, Obama bisa menang dengan selisih sekitar 160.000 suara, 70.000 di antaranya, menurut Muslim American Society Freedom Foundation di Virginia, berasal dari pemilih muslim.
Secara umum, kelompok-kelompok muslim AS tidak menampakkan dukungan secara terbuka kepada Obama selama masa kampanye berlangsung. Selain kekhawatiran dukungan terbuka untuk Obama bisa dimanfaatkan lawan politiknya untuk menjatuhkan Obama dengan isu Islam, mereka juga tidak merasa sepenuhnya senang dengan rekam jejak Obama dalam isu-isu etika serta tim kampanyenya yang cenderung menjauhi kelompok muslim.
Pada masa kampanye, ketika dukungan kaum muslim meningkat gara-gara Obama dituduh muslim, tim kampanye Obama merespons isu tersebut secara kurang elegan dengan menekankan kekristenan Obama, namun tidak memberi catatan bahwa tidak ada yang salah menjadi seorang muslim Amerika.
Terpilihnya Obama memang memberi harapan tersendiri bagi kaum muslim yang berharap kebijakan Obama mampu memupuskan teori konflik antarperadaban. Namun kaum muslim juga tidak terlalu berharap bahwa Obama akan memiliki kekuatan ajaib yang mampu menghilangkan segala diskriminasi rasial dan agama. Melihat rekam jejak Obama, kaum muslim AS pun tidak terlalu yakin Obama mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro-agama.
Masalah Timur Tengah
Kebijakan politik luar negeri Obama mengenai masalah Timur Tengah tampaknya juga tidak akan banyak berubah dari para pendahulunya. AS telah memiliki cetak biru tentang bagaimana menangani wilayah itu. Yang mungkin agak berbeda adalah Obama memiliki visi yang lebih menekankan diplomasi daripada pendekatan keamanan. Obama secara konsisten tidak mendukung kebijakan invasi AS ke Irak. Meski menjanjikan penarikan pasukan AS dari Irak secepatnya, namun Obama tetap berkeinginan menempatkan sejumlah kecil pasukan AS di Irak, utamanya untuk melindungi personel dan fasilitas AS, melatih tentara Irak, dan memburu jaringan al-Qaidah.
Berbeda dengan Irak, Obama justru akan mempertahankan bahkan menambah pasukan AS di Afghanistan dan perbatasan Pakistan dengan tujuan membasmi jaringan al-Qaidah. Obama juga berjanji untuk lebih menekankan diplomasi dalam menangani masalah nuklir Iran, meskipun tidak menghapus opsi serangan militer ke Iran jika Iran tetap melanjutkan program senjata nuklirnya. Obama menjanjikan peningkatan hubungan ekonomi AS-Iran dan memberikan jaminan keamanan jika Iran bersedia menghentikan program pengayaan uraniumnya.
Obama juga tampak jelas bersimpati kepada rakyat Palestina. Dalam salah satu kampanyenya di Iowa, Obama mengatakan bahwa tidak ada yang lebih menderita daripada rakyat Palestina. Namun dia menuding Hamas, kelompok militan yang berkuasa di Palestina, sebagai penyebab penderitaan rakyat Palestina karena tidak mau melanjutkan perundingan damai dengan Israel. Tentu saja dia berpihak pada Israel dan mendukung sepenuhnya keberadaan negara zionis tersebut.
Sayangnya, Obama tidak memiliki konsep perdamaian Palestina-Israel yang konkret, termasuk ketika ia hanya diam dan tidak mengeluarkan komentar apapun tentang invasi Israel ke Gaza baru-baru ini.
Isu-isu etika
Menurut catatan National Gay and Lesbian Task Force, Obama mendukung hak-hak kaum gay sejak masih menjadi senator negara bagian Illinois dan menolak segala bentuk diskriminasi yang berbasis orientasi seksual. Dia juga mendukung kebijakan yang mengizinkan kaum gay dan lesbian menjadi tentara.
Tidak heran jika Obama mendapatkan penilaian sempurna dari Planned Parenthood atas dukungannya kepada UU tentang keluarga berencana dan hak aborsi ketika menjadi senator.
Sebagai pemeluk Kristen, sebenarnya Obama menolak pernikahan kaum gay atau lesbian. Meski Obama menolak perkawinan sejenis, namun ia juga menolak perundang-undangan yang melarang perkawinan sejenis. Dalam bukunya, The Audacity of Hope, Obama menyatakan bahwa sebagai seorang Kristen sekaligus seorang pejabat negara, ia memiliki kewajiban untuk tetap membuka diri akan kemungkinan bahwa ia salah ketika memutuskan untuk tidak mendukung perkawinan sejenis.
Dalam hal aborsi, Obama mendukung kemerdekaan dan hak perempuan untuk memilih aborsi atau tidak. Bahkan Obama juga mendukung pilihan perempuan untuk aborsi meskipun dilakukan ketika janin di kandungan sudah besar. Isu ini merupakan salah satu isu krusial yang dimunculkan kelompok Kristen konservatif. Isu-isu tentang etika ini pula menjadi salah satu alasan kaum muslim AS memberikan suaranya untuk George Bush pada Pilpres 2000 karena Bill Clinton dan Partai Demokrat pada dasawarsa 1990-an terlalu liberal pada isu-isu yang menyangkut kaum gay dan lesbian, perkawinan dan juga aborsi.
Sayangnya, baru beberapa hari menjabat, Obama sudah menuai kecaman dari kelompok agamawan termasuk Vatikan ketika dia mengeluarkan memorandum yang mencabut larangan pemberian dana pemerintah federal bagi kelompok pro-aborsi. Larangan ini pertama kali diberlakukan pada tahun 1984 oleh Ronald Reagan, presiden dari Partai Republik. Pada tahun 1993, Presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat mengakhiri larangan ini, namun Presiden George Bush dari Partai Republik kembali memberlakukannya pada tahun 2001.
Terakhir, meskipun dihadang persoalan tersebut di atas, bukan berarti tidak ada kemungkinan bagi Obama untuk bisa memenuhi harapan publik Islam. Langkah pertama yang harus dilakukan Obama adalah menyelesaikan krisis ekonomi yang sedang melanda AS. Pemulihan ekonomi AS akan menjadi test case pertama Obama untuk membuktikan bahwa perubahan yang ia janjikan benar-benar bisa terwujud. Obama perlu belajar dari kasus perselingkuhan yang menimpa Bill Clinton dengan Monica Lewinsky pada tahun 1998. Clinton terhindar dari impeachment oleh Senat karena publik AS secara umum puas dengan kinerja pemerintahan Clinton. Jika Obama mampu memulihkan perekonomian AS, publik AS akan lebih mudah menerima visi pribadi Obama dalam menjalankan diplomasi dengan umat Islam dan dunia Islam secara umum.

[+/-] Read More...

Minggu, 25 Januari 2009

Irwan Hukum UNHAS - SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

A. JUDUL

B. PEMBUKAAN

  • Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
  • Jabatan Pembentuk Peraturan Peruhndang-undangan
  • Konsiderans
  • Dasar Hukum
  • Diktum
C. BATANG TUBUH
  • Ketentuan Umum
  • Materi Pokok yang Diatur
  • Ketentuan Pidana ( jika diperlukan)
  • Ketentuan Peralihan ( jika diperlukan )
  • Ketentuan Penutup

D. PENUTUP

E. PENJELASAN (jika diperlukan)

F. LAMPIRAN ( jika diperlukan )

Penulis : Irwan Hukum 05 UNHAS

[+/-] Read More...

Irwan Hukum UNHAS - SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Sengketa Tata Usaha Negara dapat dibedakan atas 2 yaitu sengketa intern dan sengketa ekstern. Sengketa intern atau sengketa antara administrasi negara terjadi di dalam lingkungan administrasi Negara (TUN) itu sendiri, baik yang terjadi dalam satu departemen (instansi) maupun sengketa yang terjadi antar departemen (instansi).
Perbuatan administrasi Negara (TUN) dapat dkelompokkan ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan, yakni; mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil.

Dalam melakukan perbuatan tersebut badan atau pejabat tata usaha Negara tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan tersebut. Kerugian yang ditimbulkan inilah yang akan mengakibatkan adanya sengketa TUN.
Sengketa esktern atau sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat sebagai subjek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsure peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi Negara, yang mencakup administrasi Negara di tingkat daerah maupun administrasi Negara pusat yag ada di daerah.
Dengan demikian sengketa intern adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) atau kewenangan suatu departemen (instansi) terhadap departemen yang lainnya yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan. Sengketa ini dapat juga disebut sebagai hukum antar wewenang.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah UU PTUN menganut sengketa intern maupun sengketa ekstern. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat ditelusuri dan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU PTUN yang menyebutkan sebagai berikut:
Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang ditimbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara,baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari pasal tersebut dapat diketahi bahwa tolak ukur sebjek sengketa tata usaha negara adalah orang/individu atau badan hukum perdata disatu pihak dan badan atau pejabat tata usaha negara dipihak lainnya. Dengan demikian, para pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah orang atau badan hokum perdata dan badan atau pejabat tata usaha negra. Sedangkan tolak ukur sengketa adalah akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara. Dengan demikian, UU PTUN hanya menganut sengketa ekstern.Dan perbuatan atu tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang menjadi kompetensi PTUN adalah yang menyagkut perbuatan atau tindakan mengeluarkan keputusan.
Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang yang timbul dibidang tata usaha negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan badan atau Pejabat tata usaha negara, akibat dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara. Dari hal ini jelas bagi kita bahwa yang dapat digugat di pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara karena badan atau Pejabta Tata Usaha Negara inilah yang dapat mengeluarkan suatu keputusan Tata Usaha Negara. Sedangkan yang berhak menggugat atau yang menjadi penggugat ialah orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan karena dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabta tata usaha negara yang bersangkutan. Karena sengketa tata usaha negara tersebut selalu berkaitan dengan dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, maka satu-satunya pihak yang apat digugat di pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara adalah badan atau pejabat tata usaha negara. Berdasarkan hal ini maka dalam acara peradian tata usaha negara tidak dikenal adanya gugat balik atau gugat rekonvensi atau dengan kata lain seorang pejabat tata usaha negara yang merasa dirugiakn baik moril maupun materiil karena adanya gugat dari warga masyarakat atau badan hukum perdat,tidak dapat mengajukan gugat balik atau gugat rekonvensi. Hal ini disebabkan karena sengketa tata usaha tersebut berkenaan dengan masalah sah atau tidaknya suatu keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Sengketa mengenai kepentingan hak termasuk hak menuntut ganti rugi, tidaklah termasuk wewenang peradilan tata usaha negara untuk mengadilinya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh E. Utrecht bahwa pendapat yang pada zaman sekarag berlaku di negara belanda dan zaman sekarang di Indonesia oleh ilmu hokum dan yurisprudensi adalah pendapat Buys.
Menurut Buys seperti telah dikemukan sebelumnya walaupn pokok dalam perselisihan {objectum litis} terletak di lapangan hukum publik, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu memita ganti rugi maka yang berwenang mengadili adalah hakim biasa atau peradilan umum.
Pangkal Sengketa Tata Usaha Negara
Di dalam sengketa tata usaha negara yang menjadi pangkal sengketa adalah keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,yang bersifat konkret,individual,dan final yag menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.
Dalam gugat-menggugat, selalu terdapat dua pihak atau yang saling bersengketa. Dalam sengketa administrasi negara (TUN) sekurang-kurangnya harus ada pihak yang bersengketa dan salah satu pihak di antaranya harus badan atau pejabat admnistrasi negara (TUN).
Berdasarkan pada pengertian di atas, yang menjadi pangkal sengketa dalam peradilan TUN itu sangat terbatas pada keputusan saja,dan ini pun dipersempit lagi hanya keputusan TUN yang tertulis saja. Hal ini berarti, tidak semua tindakan badan atau pejabat TUN ini dapat digugat melalui Peradilan TUN. Namun, yang dapat digugat melalui Peradilan TUN sebatas keputusan TUN saja. Tindakan-tindakan badan atau pejabat TUN yang tanpa keputusan tidak menjadi objek sengketa Peradilan TUN.
Dari pengertian itu dapat ditarik unsure-unsur KTUN adalah sebagai berikut:
Suatu penetapan tertulis,
Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara,
Berisi tindakan hukum tata usaha negara,
Bersifat konkret,
Individual, dan
Final,
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.


Dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN disebutkan bahwa suatu penetapan tertulis adalah terutama menunjuk kepada isi bukan bentuk (form). Persyaratan tertulis adalah semata untuk kemudahan segi pembuktian.

Penulis : Irwan Hukum 05 UNHAS

[+/-] Read More...

Irwan Hukum UNHAS - The-Agung concept for HmI MakTim

Assalamu alaikum Wr.Wb.

Sebuah organisasi kemahasiswaan yang tertua dan terbesar di Indonesia yang lahir sejak 61 tahun lalu telah memberikan banyak sumbangsih kepada kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tercinta ini.

HmI sebagai organisasi kader dan sebagai alat perjuangan mencapai cita-cita ideal bangsa dalam semangat Nilai-Nilai Dasar Perjuangannya (NDP) telah menjadi mesin pencetak kader pemimpin bangsa yang melahirkan Kader-kader Pemimpin yang intelektual, berakhlak islami dan senantiasa memperjuangkaan Tujuan HmI.

Dewasa ini, HmI yang seharusnya dipenuhi dengan suasana intelektualisme kini diliputi oleh awan hitam politik yang membutakan nurani kadernya menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan individu semata ataupun hanya memuaskan nafsu kekuasaannya seolah-olah kader HmI tidak memahami Nilai dasar Perjuangan HmI.

HmI cabang Makassar Timur yang dulunya dikenal sebagai pencetak kader yang disegani dalam kapasitas intelektual maupun spiritual pun mengalami hal yang sama. Parahnya lagi kebobrokan itu seolah-olah dipertahankan dari tahun ke tahun. Kali ini HmI cabang Makassar Timur tiba pada sebuah agenda penting yaitu Konferensi Cabang HmI Cabang Makassar Timur. Momen ini bias saja menjadi titik balik kesemrawutan HmI cabang Makassar Timur menuju kepada kondisi yang lebih baik, lebih intelektual, dan lebih Islami ataupun bahkan akan menjadikan HmI cabang Makassar Timur lebih rusak dibandingkan yang ada saat ini.

Saya M.Ali Agung UP. Yang dalam 4(empat) tahun ini telah menikmati asam-manis ber-HmI di HmI cab.Makassar Timur merasa prihatin dan bertanggungjawab untuk memperbaiki Kondisi yang ada pada HmI cabang Makassar Timur saat menuju kepada HmI cabang Makassar Timur yang sarat dengan aroma Intelektual, penuh dengan Spiritualitas, serta pencapaian pengabdian pada masyarakat yang lebih baik dan berkesinambungan.

Visi :

Implementasi NDP dalam membangun HmI Cab.Makassar Timur menuju tercapainya Insan cita HmI.

Misi:
1.Membangun sistem Pengkaderan dan pelatihan yang lebih baik demi mewujudkan kader HmI yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritual yang tinggi.
2.Maksimalisasi peran Lembaga Profesi HmI yang memiliki kompetensi dan kredibilitas tinggi sebagai wujud pengabdian pada Masyarakat.
3.Membangun jaringan diskusi Kader guna menciptakan Kultur intelektual di HmI.
4.Mengkonsolidasikan kader untuk berdiskusi serta menanggapi issu-issu Krusial Internasional, Nasional dan Lokal Daerah sehingga dapat mencarikan solusi dari setiap persoalan krusial tersebut.
5.Membangun sistem keorganisasian HmI cab.Makassar Timur yang berlandaskan AD/ART HmI yang Profesional dan bertanggung jawab.

Program Strategis

Mengadakan Lokakarya Sistem Pengkaderan HmI untuk menghimpun ide-ide kretif dalam membangun sistem pengkaderan yang efektif dengan bekerja sama dengan Badan Pengelola latihan.
Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan Pemberdayaan Masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan Rakyat demi mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat adil makmur.
Membentuk jaringan diskusi baik sesama kader HmI Lintas Komisariat ataupun cabang bahkan dengan organisasi Kemahasiswaan dan kepemudaan yang lain.
Pencipatan Lembaga Pengembangan Profesi baru dan memaksimalkan Peran Lembaga Profesi yang telah ada dengan Mengadakan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan Kompetensi profesi tersebut.
Memaksimalkan Kinerja BPL HmI cabang Makassar Timur dalam pengelolaan Pelatihan dan Pengkaderan di HmI Cabang Makassar Timur.
Peningkatan Kapasitas intelektual dan skill kader perempuan HmI Cab.Makassar Timur.

Billahi Taufik walhidayah.

Wassalamu alaikum Wr.Wb

Penulis : Irwan HUKUM 05 UNhas

[+/-] Read More...